Bagaimana
seharusnya menyikapi Sisa Lebih Perhitungan Anggaran (Silpa) dalam APBD ?
Apakah benar seperti yang diungkapkan oleh Ahmad Zulkarnaen, Wakil Ketua I DPRD
Kota Cimahi bahwa besarnya Silpa menunjukkan terjadinya efisiensi luar biasa
dalam penggunaan anggaran ? (PR, 30 Desember 2010).
APBD
sebagai dokumen keuangan dalam perencanaan pembangunan daerah sesungguhnya
bersifat prediktatif. Karena sifat prediktatif inilah, realisasi APBD
memungkinkan terjadinya surplus dan defisit anggaran. Dengan adanya surplus
anggaran tahun sebelumnya yang menjadi Silpa, maka defisit APBD tahun
berikutnya bisa ditutupi. Lantas darimana Silpa berasal ?
Pertama,
realisasi perolehan PAD melebihi yang ditargetkan. Tercapainya bahkan
dilampauinya target PAD tentu menjadi prestasi daerah khususnya Satuan Kerja
Perangkat Daerah (SKPD) penghasil (yang memungut dana dari masyarakat baik
berupa pajak maupun retribusi) dan Badan Usaha Milik Daerah (BUMD) yang sudah profitable. Tetapi perlu dicermati
apakah penetapan target pendapatan SKPD tersebut sudah didasarkan potensi ril
yang mereka miliki ? Demikian juga mekanisme penetapan target apakah sudah
didasarkan pada perhitungan matematis berdasarkan potensi yang ada atau masih
berdasarkan taksasi (taksiran) ? Dengan data potensi yang tidak valid serta
mekanisme yang tidak tepat dalam menghitung target, kecendrungan prediksi
pendapatan dibawah potensi ril yang dimiliki sangat sering terjadi. Akibatnya
target pendapatan selalu tercapai bahkan bisa terlampaui.
Kedua,
adanya kegiatan yang tidak terlaksana sehingga anggaran tidak terserap.
Gagalnya pelaksanaan sebuah kegiatan tidak bisa dilepaskan dari lemahnya
perencanaan. Kegiatan yang belum matang/selesai perencanaannya terkadang dipaksakan
masuk dalam tahun anggaran berjalan. Demikian pula upaya memasukkan kegiatan
fisik dan kegiatan yang membutuhkan proses tender dalam perubahan anggaran
menjadi penyebab gagalnya pelaksanaan kegiatan. Akibat keterbatasan waktu, Pejabat
Pelaksana Teknik Kegiatan (PPTK) di SKPD pelaksana tidak berani ‘mengeksekusi’ kegiatan dimaksud
karena dikhawatirkan tidak akan selesai. Semakin banyak kegiatan yang tidak
terlaksana semakin besar potensi Silpa pada saat perhitungan APBD.
Ketiga,
selisih realisasi belanja dengan yang dianggarkan. Selama ini kegiatan pada
anggaran belanja langsung direncanakan berdasarkan standar harga /harga
perkiraan setempat (HPS) yang mengacu pada harga tertinggi di pasaran ditambah
pajak dan keuntungan pihak ketiga (pemasok barang). Alasan penetapan HPS dengan
pola diatas memang diperlukan untuk mengantisipasi lonjakan harga. Tetapi
ditengah situasi ekonomi yang relatif stabil, antisipasi kenaikan seharusnya
tidak dengan mematok harga tertinggi sebagai dasar penetapan HPS. Demikian pula
karena ada penambahan pajak (PPn) dan keuntungan pihak ketiga, seharusnya harga
ditetapkan bukan dari harga jual yang sudah memasukkan komponen PPn dan
keuntungan dalam harga yang mereka tawarkan
Untuk
mengetahui lebih detail penyebab besarnya Silpa, DPRD harus berperan maksimal
dalam melaksanakan fungsi penganggarannya. DPRD jangan terjebak ketika
pembahasan RAPBD hanya untuk menutup defisit karena anggaran belanja yang
diajukan Tim Anggaran Pemerintah Daerah (TAPD) jauh lebih besar dibandingkan
prediksi pendapatan yang direncanakan. Akibatnya DPRD lebih fokus pada upaya
meningkatkan pendapatan dengan mendesak SKPD penghasil menaikkan target
pendapat mereka dan melakukan pemangkasan belanja dengan memotong sekian persen
belanja langsung secara keseluruhan. Kondisi ini terjadi karena keterbatasan
waktu pembahasan APBD. Berawal dari keterlambatan pembahasan Kebijakan Umum
Anggaran dan Prioritas Plafon Anggaran Sementara (KUA dan PPAS), berdampak pada
mundurnya penyerahan RAPBD ke DPRD untuk dibahas dan disetujui bersama.
Penyampaian RAPBD ke DPRD yang seharusnya minggu pertama bulan Oktober (PP
58/2005), kenyataannya diserahkan menjelang akhit tahun. Walaupun diserahkan
sudah dekat ke akhir tahun, DPRD memilih menyelesaikan pembahasan dalam waktu
singkat untuk mengejar pengesahan sebelum tahun anggaran berjalan. Bisa
dibayangkan dangkalnya pembahasan yang dilakukan mengingat ada ratusan bahkan
ribuan kegiatan dalam APBD. Waktu normal pembahasan RAPBD dua (2) bulan bisa
dituntaskan terkadang hanya dalam waktu satu minggu saja. Akibatnya alih-alih
mendalami Silpa yang dianggap penyelamat defisit, upaya optimalisasi pendapatan
berdasarkan potensi dan efisiensi belanja berdasarkan prioritas pembangunan
juga tidak sempat dilakukan.
Dalam
menyikapi Silpa cara pandang DPRD seharusnya berpijak pada analisis tiga (3)
faktor diatas. Silpa yang berasal dari realiasi pendapatan jika besarannya
terlalu tinggi menandakan ada permasalahan dari data potensi dan mekanisme
perhitungannya. Namun Silpa yang kecil juga perlu diwaspadai selagi prediksi
pendapatan tidak didasarkan pada potensi dan mekanisme perhitungan yang jelas.
Dalam hal ini anggota DPRD perlu memiliki kemampuan menganalisis data yang
diberikan. Akan lebih baik jika DPRD punya data pembanding atau didampingi staf
ahli yang kompeten.
Silpa
yang diperoleh dari tidak terlaksananya kegiatan yang sudah
dianggarkan,harusnya menjadi pintu masuk bagi DPRD untuk melihat sinkronisasi
kegiatan dalam Rencana Kegiatan Pemerintah Daerah (RKPD) yang menjadi hulu
dokumen perencanaan tahunan dengan KUA dan PPAS serta RAPBD. Jangan sampai ada
kegiatan yang muncul ditengah jalan karena bisa menghilangkan kegiatan yang
sudah masuk dalam perencanaan awal. Hilangnya kegiatan tersebut akan merugikan
masyarakat karena untuk mengantisipasi keterbatasan anggaran pencoretan
biasanya dilakukan untuk kegiatan yang nilai kepentingannya bagi pemerintah
daerah dan DPRD kurang signifikan. Oleh
karenanya DPRD membutuhkan waktu yang cukup untuk mendalami RAPBD yang
diserahkan Pemda agar munculnya program/kegiatan ditengah jalan bisa dideteksi.
Demikian pula DPRD harus berani menolak usulan kegiatan dalam perubahan APBD
yang diprediksi tidak akan selesai sampai akhir tahun. Dengan cara ini
kegagalan pelaksanaan kegiatan bisa diminimalisir.
Kegiatan
yang termasuk belanja langsung APBD seharusnya menyisakan Silpa karena HPS yang
ditetapkan untuk masing-masing kegiatan selalu diatas harga normal. Bila tidak
ada lonjakan harga yang tajam, Silpa minimal bisa mencapai 20 % dari
keseluruhan belanja langsung. Untuk itu tidak bisa dikatakan terjadi efisiensi
luar biasa jika tidak mengetahui detail sumber Silpa. Efisiensi baru terjadi
jika dalam pelaksanaan belanja langsung ada pos-pos anggaran yang dihilangkan atau
dikurangi karena menggunakan sumber daya yang sudah ada dari kegiatan tahun
sebelumnya, seperti tidak jadi membeli notebook baru karena menggunakan
notebook inventaris kantor. Dalam hal ini dituntut kejelian anggota DPRD
melihat sumber Silpa dari setiap kegiatan belanja langsung yang ada dalam
APBD.
*Pegiat
Good Governance dan Praktisi Governance Consulting
0 komentar:
Posting Komentar