http://4.bp.blogspot.com/-MjpxfO6YxxI/Uos2MrQm8BI/AAAAAAAAAKQ/CYdQ_Twe_bA/s1600/996048_722726271088205_732148940_n.jpg SILPA dan PERAN DPRD ~ Ir. H. Endrizal Nazar

Selasa, 19 November 2013

SILPA dan PERAN DPRD



Bagaimana seharusnya menyikapi Sisa Lebih Perhitungan Anggaran (Silpa) dalam APBD ? Apakah benar seperti yang diungkapkan oleh Ahmad Zulkarnaen, Wakil Ketua I DPRD Kota Cimahi bahwa besarnya Silpa menunjukkan terjadinya efisiensi luar biasa dalam penggunaan anggaran ? (PR, 30 Desember 2010).

APBD sebagai dokumen keuangan dalam perencanaan pembangunan daerah sesungguhnya bersifat prediktatif. Karena sifat prediktatif inilah, realisasi APBD memungkinkan terjadinya surplus dan defisit anggaran. Dengan adanya surplus anggaran tahun sebelumnya yang menjadi Silpa, maka defisit APBD tahun berikutnya bisa ditutupi. Lantas darimana Silpa berasal ?

Pertama, realisasi perolehan PAD melebihi yang ditargetkan. Tercapainya bahkan dilampauinya target PAD tentu menjadi prestasi daerah khususnya Satuan Kerja Perangkat Daerah (SKPD) penghasil (yang memungut dana dari masyarakat baik berupa pajak maupun retribusi) dan Badan Usaha Milik Daerah (BUMD) yang sudah profitable. Tetapi perlu dicermati apakah penetapan target pendapatan SKPD tersebut sudah didasarkan potensi ril yang mereka miliki ? Demikian juga mekanisme penetapan target apakah sudah didasarkan pada perhitungan matematis berdasarkan potensi yang ada atau masih berdasarkan taksasi (taksiran) ? Dengan data potensi yang tidak valid serta mekanisme yang tidak tepat dalam menghitung target, kecendrungan prediksi pendapatan dibawah potensi ril yang dimiliki sangat sering terjadi. Akibatnya target pendapatan selalu tercapai bahkan bisa terlampaui. 

Kedua, adanya kegiatan yang tidak terlaksana sehingga anggaran tidak terserap. Gagalnya pelaksanaan sebuah kegiatan tidak bisa dilepaskan dari lemahnya perencanaan. Kegiatan yang belum matang/selesai perencanaannya terkadang dipaksakan masuk dalam tahun anggaran berjalan. Demikian pula upaya memasukkan kegiatan fisik dan kegiatan yang membutuhkan proses tender dalam perubahan anggaran menjadi penyebab gagalnya pelaksanaan kegiatan. Akibat keterbatasan waktu, Pejabat Pelaksana Teknik Kegiatan (PPTK) di SKPD pelaksana  tidak berani ‘mengeksekusi’ kegiatan dimaksud karena dikhawatirkan tidak akan selesai. Semakin banyak kegiatan yang tidak terlaksana semakin besar potensi Silpa pada saat perhitungan APBD.

Ketiga, selisih realisasi belanja dengan yang dianggarkan. Selama ini kegiatan pada anggaran belanja langsung direncanakan berdasarkan standar harga /harga perkiraan setempat (HPS) yang mengacu pada harga tertinggi di pasaran ditambah pajak dan keuntungan pihak ketiga (pemasok barang). Alasan penetapan HPS dengan pola diatas memang diperlukan untuk mengantisipasi lonjakan harga. Tetapi ditengah situasi ekonomi yang relatif stabil, antisipasi kenaikan seharusnya tidak dengan mematok harga tertinggi sebagai dasar penetapan HPS. Demikian pula karena ada penambahan pajak (PPn) dan keuntungan pihak ketiga, seharusnya harga ditetapkan bukan dari harga jual yang sudah memasukkan komponen PPn dan keuntungan dalam harga yang mereka tawarkan


Untuk mengetahui lebih detail penyebab besarnya Silpa, DPRD harus berperan maksimal dalam melaksanakan fungsi penganggarannya. DPRD jangan terjebak ketika pembahasan RAPBD hanya untuk menutup defisit karena anggaran belanja yang diajukan Tim Anggaran Pemerintah Daerah (TAPD) jauh lebih besar dibandingkan prediksi pendapatan yang direncanakan. Akibatnya DPRD lebih fokus pada upaya meningkatkan pendapatan dengan mendesak SKPD penghasil menaikkan target pendapat mereka dan melakukan pemangkasan belanja dengan memotong sekian persen belanja langsung secara keseluruhan. Kondisi ini terjadi karena keterbatasan waktu pembahasan APBD. Berawal dari keterlambatan pembahasan Kebijakan Umum Anggaran dan Prioritas Plafon Anggaran Sementara (KUA dan PPAS), berdampak pada mundurnya penyerahan RAPBD ke DPRD untuk dibahas dan disetujui bersama. Penyampaian RAPBD ke DPRD yang seharusnya minggu pertama bulan Oktober (PP 58/2005), kenyataannya diserahkan menjelang akhit tahun. Walaupun diserahkan sudah dekat ke akhir tahun, DPRD memilih menyelesaikan pembahasan dalam waktu singkat untuk mengejar pengesahan sebelum tahun anggaran berjalan. Bisa dibayangkan dangkalnya pembahasan yang dilakukan mengingat ada ratusan bahkan ribuan kegiatan dalam APBD. Waktu normal pembahasan RAPBD dua (2) bulan bisa dituntaskan terkadang hanya dalam waktu satu minggu saja. Akibatnya alih-alih mendalami Silpa yang dianggap penyelamat defisit, upaya optimalisasi pendapatan berdasarkan potensi dan efisiensi belanja berdasarkan prioritas pembangunan juga tidak sempat dilakukan. 

Dalam menyikapi Silpa cara pandang DPRD seharusnya berpijak pada analisis tiga (3) faktor diatas. Silpa yang berasal dari realiasi pendapatan jika besarannya terlalu tinggi menandakan ada permasalahan dari data potensi dan mekanisme perhitungannya. Namun Silpa yang kecil juga perlu diwaspadai selagi prediksi pendapatan tidak didasarkan pada potensi dan mekanisme perhitungan yang jelas. Dalam hal ini anggota DPRD perlu memiliki kemampuan menganalisis data yang diberikan. Akan lebih baik jika DPRD punya data pembanding atau didampingi staf ahli yang kompeten.
Silpa yang diperoleh dari tidak terlaksananya kegiatan yang sudah dianggarkan,harusnya menjadi pintu masuk bagi DPRD untuk melihat sinkronisasi kegiatan dalam Rencana Kegiatan Pemerintah Daerah (RKPD) yang menjadi hulu dokumen perencanaan tahunan dengan KUA dan PPAS serta RAPBD. Jangan sampai ada kegiatan yang muncul ditengah jalan karena bisa menghilangkan kegiatan yang sudah masuk dalam perencanaan awal. Hilangnya kegiatan tersebut akan merugikan masyarakat karena untuk mengantisipasi keterbatasan anggaran pencoretan biasanya dilakukan untuk kegiatan yang nilai kepentingannya bagi pemerintah daerah dan DPRD kurang signifikan.  Oleh karenanya DPRD membutuhkan waktu yang cukup untuk mendalami RAPBD yang diserahkan Pemda agar munculnya program/kegiatan ditengah jalan bisa dideteksi. Demikian pula DPRD harus berani menolak usulan kegiatan dalam perubahan APBD yang diprediksi tidak akan selesai sampai akhir tahun. Dengan cara ini kegagalan pelaksanaan kegiatan bisa diminimalisir.

Kegiatan yang termasuk belanja langsung APBD seharusnya menyisakan Silpa karena HPS yang ditetapkan untuk masing-masing kegiatan selalu diatas harga normal. Bila tidak ada lonjakan harga yang tajam, Silpa minimal bisa mencapai 20 % dari keseluruhan belanja langsung. Untuk itu tidak bisa dikatakan terjadi efisiensi luar biasa jika tidak mengetahui detail sumber Silpa. Efisiensi baru terjadi jika dalam pelaksanaan belanja langsung ada pos-pos anggaran yang dihilangkan atau dikurangi karena menggunakan sumber daya yang sudah ada dari kegiatan tahun sebelumnya, seperti tidak jadi membeli notebook baru karena menggunakan notebook inventaris kantor. Dalam hal ini dituntut kejelian anggota DPRD melihat sumber Silpa dari setiap kegiatan belanja langsung yang ada dalam APBD. 
*Pegiat Good Governance dan Praktisi Governance Consulting
 

0 komentar:

Posting Komentar

 
Design by Free WordPress Themes | Bloggerized by Lasantha - Premium Blogger Themes | Best Buy Coupons | Re-Design by PKS Piyungan