Beberapa
waktu yang lalu ketika kita lewat di beberapa ruas jalan Kota Bandung ada iklan
layanan masyarakat, ‘Kami telah menanam sejuta pohon, bagaimana dengan Anda ?’.
Semangat yang terkandung dalam iklan ini sangat positif, mengajak warga
masyarakat berperan serta dalam penghijauan kota dengan menanam pohon. Semangat
yang juga didorong oleh Undang-Undang No. 26 tahun 2007 tentang Penataan Ruang
yang mencantumkan ruang terbuka hijau (RTH) perkotaan minimal 30 % dari luas
wilayah kota yang terdiri dari ruang terbuka hijau publik dan ruang terbuka
hijau privat. Tetapi semangat menanam pohon ini harusnya tidak berhenti sebatas
menanam tetapi juga memelihara agar tumbuh besar sehingga peningkatan ruang
terbuka hijau terlihat signifikan. Berkaitan dengan kewajiban pemerintah daerah
meningkatkan proporsi ruang terbuka hijau publik minimal 20 % dari luas wilayah
kota, maka pemerintah daerah diberikan otoritas mengalokasikan APBD untuk
kegiatan tersebut. Untuk mewujudkan keberhasilan program tersebut dan
program-program lain dalam pembangunan daerah implementasi anggaran berbasis
kinerja menjadi sebuah keharusan.
Anggaran
berbasis kinerja baru diperkenalkan setelah lahirnya Keputusan Menteri Dalam
Negeri No. 24 tahun 2002. Anggaran berbasis kinerja bermakna setiap alokasi dana yang direncanakan harus terkait
dengan tingkat pelayanan dan hasil yang dapat dicapai dengan kuantitas dan kualitas yang terukur.
Oleh karenanya anggaran berbasis kinerja harus memiliki parameter kinerja,
indikator kinerja dan capaian kinerja. Secara detail Kepmendagri 24/2002
mencantumkan parameter kinerja dalam bentuk masukan (input), keluaran (output),
hasil (outcome), manfaat (benefit), dan dampak (impact). Dalam implementasinya
daerah mengalami kerepotan menerjemahkan parameter kinerja ini dalam kegiatan
yang mereka susun. Parameter masukan dan keluaran relatif tidak mengalami
kendala dalam pengisiannya ke dalam Rencana Anggaran Satuan Kegiatan Satuan
Kerja Perangkat Daerah (RASK SKPD). Tetapi ketika menyusun parameter hasil,
manfaat, dan dampak mulailah terlihat ketidakjelasan hubungan antara indikator
dan capaian kinerja dengan kegiatan yang direncanakan.
Untuk
lebih menyederhanakan parameter kinerja, Kepmendagri 24/2002 direvisi menjadi
Peraturan Menteri Dalam Negeri No. 13 tahun 2006 dimana parameter manfaat dan
dampak tidak lagi dimasukkan dalam penyusunan Rencana Kerja dan Anggaran Satuan
Kerja Perangkat Daerah (RKA SKPD). Masukan
(input) adalah tolok ukur kinerja berdasarkan tingkatan atau besaran sumber dana, sdm,
material, waktu, teknologi yang digunakan untuk melaksanakan kegiatan. Keluaran (output) adalah tolok
ukur kinerja berdasarkan produk yang dihasilkan dari kegiatan sesuai dengan
masukan yang digunakan. Hasil (outcome)
adalah tolok ukur kinerja berdasarkan tingkat keberhasilan yang dapat dicapai
berdasarkan keluaran (output) kegiatan yang sudah dilaksanakan
Penyederhanaan
parameter kinerja ini masih memunculkan kesulitan SKPD merumuskan hasil
(outcome) dan capaian yang ingin dihasilkan dari setiap kegiatan. Hampir semua
kegiatan yang berkaitan dengan pelayanan public, outcomenya dirumuskan dengan Pelayan Prima dan capaiannya dalam
bentuk persentase. Ketika ditanya kenapa muncul angka sekian persen, maka
jawabannya 100 % dibagi masa kepemimpinan kepala daerah. Dengan pemahaman
seperti ini, produk APBD berubah dari anggaran berbasis kinerja menjadi anggaran berbasis kerja karena ketidakjelasan
tingkat keberhasilan yang ingin dicapai. Karena ketidakjelasan target capaian kinerjanya, laporan
keterangan pertanggungjawaban (LKPJ) Kepala Daerah lebih sering mencerminkan
laporan pelaksanaan kegiatan bukan progress
report keberhasilan pembangunan.
Merencanakan
anggaran berbasis kinerja sangat tergantung kepada pemahaman dan kompetensi
SKPD dalam merumuskan indikator dan capaian kinerja dari setiap kegiatan. Tolok
ukur kinerja tentu mengacu pada Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah
(RPJMD) yang sudah diturunkan oleh setiap SKPD menjadi Rencana Strategis
(Renstra) SKPD. Pencapaian kinerja berdasarkan output tidak memberikan gambaran penyelesaian persoalan dan
pencapaian target pembangunan. Iklan layanan masyarakat di atas tentunya yang
diharapkan bukan sebatas jumlah pohon yang ditanam tetapi pada penambahan RTH.
Oleh karenanya dalam outcome harus
dimunculkan berapa persen (hektar) penambahan RTH sebagai tindak lanjut dari output berupa jumlah pohon yang ditanam.
Hal ini jelas menuntut keseriusan dari SKPD yang mendapat alokasi anggaran
untuk melakukan pemeliharaan agar pohon tersebut tumbuh besar dan menambah RTH
kota.
Persoalan
mendasar lemahnya implementasi anggaran berbasis kinerja terletak pada
kompetensi aparatur birokrasi dalam memahami dan merumuskan kinerja dari setiap
kegiatan. Seharusnya SKPD mampu menjabarkan target RPJMD yang sudah diadopsi
menjadi Renstra SKPD menjadi rencana kerja yang terukur capaiannya. Untuk itu
peningkatan kompetensi aparatur pemerintah daerah minimal ditingkat pejabat
struktural menjadi syarat utama terwujudnya anggaran berbasis kinerja.
Disamping itu senioritas eselonering dalam proses asistensi RKA SKPD harus
dihilangkan. Badan Perencanaan Pembangunan Daerah (Bappeda) yang menangani
asistensi ini sering mengalami kesulitan karena pelaksanaan asistensi yang
ditangani pegawai eselon IV harus berhadapan dengan pegawai eselon III yang
bertanggungjawab secara teknis dalam penyusunan RKA SKPD.
DPRD sebagai mitra kerja pemerintah daerah
yang terlibat dalam pembahasan RAPBD juga dituntut memiliki kompetensi yang
sama agar mampu mengkritisi rencana kerja dan anggaran yang diajukan pemerintah
daerah. Pembahasan anggaran seharusnya tidak menjadi monopoli Badan Anggaran.
Komisi sebagai alat kelengkapan DPRD perlu diberi ruang yang cukup untuk
membahas RKA SKPD sesuai bidang garapannya. Konsekuensinya semua anggota
DPRD dituntut memiliki kompetensi dalam
memahami seluruh mekanisme penyusunan dan pembahasan anggaran. Sebagai lembaga
yang punya hak mengesahkan anggaran (APBD), DPRD memegang posisi kunci
menentukan keberhasilan perencanaan anggaran berbasis kinerja.
Implementasi
anggaran berbasis kinerja membuka peluang yang lebih luas bagi masyarakat
berperan serta dalam pembangunan. Dalam kasus iklan layanan masyarakat di atas,
tidak semua masyarakat punya kesempatan menanam pohon karena keterbatasan/ketiadaan
lahan yang bisa ditanami. Tetapi masyarakat punya kesempatan dalam peningkatan
RTH melalui ikut memelihara pohon yang ditanam dari gangguan tangan-tangan usil
atau bisa menyiram pohon yang ditanam di sempadan jalan/sungai yang ada di depan
rumahnya. Terkait kegiatan peningkatan/pemeliharaan jalan, jika pemerintah
daerah hanya memunculkan output
berupa panjang jalan yang diperbaiki, peran serta masyarakat sangat sulit
diharapkan dalam memperbaiki jalan-jalan umum. Tetapi jika dimunculkan outcomes berupa pengurangan titik-titik
kemacetan, masyarakat bisa berperan serta dengan tidak berhenti/parkir
sembarangan atau tidak menggunakan badan jalan diluar peruntukan. Keberhasilan
penerapan anggaran berbasis kinerja akan berbuah pada kinerja pemerintahan dan
pembangunan yang lebih menyentuh kebutuhan masyarakat. Sehingga kedepan kita
akan mendapatkan iklan layanan masyarakat diatas menjadi, ‘Kami telah
menghijaukan sekian hektar lahan kota, bagaimana dengan Anda ?’
by Endrizal Nazar
by Endrizal Nazar
0 komentar:
Posting Komentar