http://4.bp.blogspot.com/-MjpxfO6YxxI/Uos2MrQm8BI/AAAAAAAAAKQ/CYdQ_Twe_bA/s1600/996048_722726271088205_732148940_n.jpg ANGGARAN BERBASIS KINERJA ~ Ir. H. Endrizal Nazar

Kamis, 21 November 2013

ANGGARAN BERBASIS KINERJA



Beberapa waktu yang lalu ketika kita lewat di beberapa ruas jalan Kota Bandung ada iklan layanan masyarakat, ‘Kami telah menanam sejuta pohon, bagaimana dengan Anda ?’. Semangat yang terkandung dalam iklan ini sangat positif, mengajak warga masyarakat berperan serta dalam penghijauan kota dengan menanam pohon. Semangat yang juga didorong oleh Undang-Undang No. 26 tahun 2007 tentang Penataan Ruang yang mencantumkan ruang terbuka hijau (RTH) perkotaan minimal 30 % dari luas wilayah kota yang terdiri dari ruang terbuka hijau publik dan ruang terbuka hijau privat. Tetapi semangat menanam pohon ini harusnya tidak berhenti sebatas menanam tetapi juga memelihara agar tumbuh besar sehingga peningkatan ruang terbuka hijau terlihat signifikan. Berkaitan dengan kewajiban pemerintah daerah meningkatkan proporsi ruang terbuka hijau publik minimal 20 % dari luas wilayah kota, maka pemerintah daerah diberikan otoritas mengalokasikan APBD untuk kegiatan tersebut. Untuk mewujudkan keberhasilan program tersebut dan program-program lain dalam pembangunan daerah implementasi anggaran berbasis kinerja menjadi sebuah keharusan.
Anggaran berbasis kinerja baru diperkenalkan setelah lahirnya Keputusan Menteri Dalam Negeri No. 24 tahun 2002. Anggaran berbasis kinerja bermakna setiap alokasi dana yang direncanakan harus terkait dengan tingkat pelayanan dan hasil yang dapat dicapai dengan kuantitas dan kualitas yang terukur. Oleh karenanya anggaran berbasis kinerja harus memiliki parameter kinerja, indikator kinerja dan capaian kinerja. Secara detail Kepmendagri 24/2002 mencantumkan parameter kinerja dalam bentuk masukan (input), keluaran (output), hasil (outcome), manfaat (benefit), dan dampak (impact). Dalam implementasinya daerah mengalami kerepotan menerjemahkan parameter kinerja ini dalam kegiatan yang mereka susun. Parameter masukan dan keluaran relatif tidak mengalami kendala dalam pengisiannya ke dalam Rencana Anggaran Satuan Kegiatan Satuan Kerja Perangkat Daerah (RASK SKPD). Tetapi ketika menyusun parameter hasil, manfaat, dan dampak mulailah terlihat ketidakjelasan hubungan antara indikator dan capaian kinerja dengan kegiatan yang direncanakan.
Untuk lebih menyederhanakan parameter kinerja, Kepmendagri 24/2002 direvisi menjadi Peraturan Menteri Dalam Negeri No. 13 tahun 2006 dimana parameter manfaat dan dampak tidak lagi dimasukkan dalam penyusunan Rencana Kerja dan Anggaran Satuan Kerja Perangkat Daerah (RKA SKPD). Masukan (input) adalah tolok ukur kinerja berdasarkan   tingkatan atau besaran sumber dana, sdm, material, waktu, teknologi yang digunakan untuk melaksanakan kegiatan. Keluaran (output) adalah tolok ukur kinerja berdasarkan produk yang dihasilkan dari kegiatan sesuai dengan masukan yang digunakan. Hasil (outcome) adalah tolok ukur kinerja berdasarkan tingkat keberhasilan yang dapat dicapai berdasarkan keluaran (output) kegiatan yang sudah dilaksanakan
Penyederhanaan parameter kinerja ini masih memunculkan kesulitan SKPD merumuskan hasil (outcome) dan capaian yang ingin dihasilkan dari setiap kegiatan. Hampir semua kegiatan yang berkaitan dengan pelayanan public, outcomenya dirumuskan dengan Pelayan Prima dan capaiannya dalam bentuk persentase. Ketika ditanya kenapa muncul angka sekian persen, maka jawabannya 100 % dibagi masa kepemimpinan kepala daerah. Dengan pemahaman seperti ini, produk APBD berubah dari anggaran berbasis kinerja menjadi anggaran berbasis kerja karena ketidakjelasan tingkat keberhasilan yang ingin dicapai. Karena ketidakjelasan target capaian kinerjanya, laporan keterangan pertanggungjawaban (LKPJ) Kepala Daerah lebih sering mencerminkan laporan pelaksanaan kegiatan bukan progress report keberhasilan pembangunan.
Merencanakan anggaran berbasis kinerja sangat tergantung kepada pemahaman dan kompetensi SKPD dalam merumuskan indikator dan capaian kinerja dari setiap kegiatan. Tolok ukur kinerja tentu mengacu pada Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah (RPJMD) yang sudah diturunkan oleh setiap SKPD menjadi Rencana Strategis (Renstra) SKPD. Pencapaian kinerja berdasarkan output tidak memberikan gambaran penyelesaian persoalan dan pencapaian target pembangunan. Iklan layanan masyarakat di atas tentunya yang diharapkan bukan sebatas jumlah pohon yang ditanam tetapi pada penambahan RTH. Oleh karenanya dalam outcome harus dimunculkan berapa persen (hektar) penambahan RTH sebagai tindak lanjut dari output berupa jumlah pohon yang ditanam. Hal ini jelas menuntut keseriusan dari SKPD yang mendapat alokasi anggaran untuk melakukan pemeliharaan agar pohon tersebut tumbuh besar dan menambah RTH kota.
Persoalan mendasar lemahnya implementasi anggaran berbasis kinerja terletak pada kompetensi aparatur birokrasi dalam memahami dan merumuskan kinerja dari setiap kegiatan. Seharusnya SKPD mampu menjabarkan target RPJMD yang sudah diadopsi menjadi Renstra SKPD menjadi rencana kerja yang terukur capaiannya. Untuk itu peningkatan kompetensi aparatur pemerintah daerah minimal ditingkat pejabat struktural menjadi syarat utama terwujudnya anggaran berbasis kinerja. Disamping itu senioritas eselonering dalam proses asistensi RKA SKPD harus dihilangkan. Badan Perencanaan Pembangunan Daerah (Bappeda) yang menangani asistensi ini sering mengalami kesulitan karena pelaksanaan asistensi yang ditangani pegawai eselon IV harus berhadapan dengan pegawai eselon III yang bertanggungjawab secara teknis dalam penyusunan RKA SKPD.
 DPRD sebagai mitra kerja pemerintah daerah yang terlibat dalam pembahasan RAPBD juga dituntut memiliki kompetensi yang sama agar mampu mengkritisi rencana kerja dan anggaran yang diajukan pemerintah daerah. Pembahasan anggaran seharusnya tidak menjadi monopoli Badan Anggaran. Komisi sebagai alat kelengkapan DPRD perlu diberi ruang yang cukup untuk membahas RKA SKPD sesuai bidang garapannya. Konsekuensinya semua anggota DPRD  dituntut memiliki kompetensi dalam memahami seluruh mekanisme penyusunan dan pembahasan anggaran. Sebagai lembaga yang punya hak mengesahkan anggaran (APBD), DPRD memegang posisi kunci menentukan keberhasilan perencanaan anggaran berbasis kinerja.
Implementasi anggaran berbasis kinerja membuka peluang yang lebih luas bagi masyarakat berperan serta dalam pembangunan. Dalam kasus iklan layanan masyarakat di atas, tidak semua masyarakat punya kesempatan menanam pohon karena keterbatasan/ketiadaan lahan yang bisa ditanami. Tetapi masyarakat punya kesempatan dalam peningkatan RTH melalui ikut memelihara pohon yang ditanam dari gangguan tangan-tangan usil atau bisa menyiram pohon yang ditanam di sempadan jalan/sungai yang ada di depan rumahnya. Terkait kegiatan peningkatan/pemeliharaan jalan, jika pemerintah daerah hanya memunculkan output berupa panjang jalan yang diperbaiki, peran serta masyarakat sangat sulit diharapkan dalam memperbaiki jalan-jalan umum. Tetapi jika dimunculkan outcomes berupa pengurangan titik-titik kemacetan, masyarakat bisa berperan serta dengan tidak berhenti/parkir sembarangan atau tidak menggunakan badan jalan diluar peruntukan. Keberhasilan penerapan anggaran berbasis kinerja akan berbuah pada kinerja pemerintahan dan pembangunan yang lebih menyentuh kebutuhan masyarakat. Sehingga kedepan kita akan mendapatkan iklan layanan masyarakat diatas menjadi, ‘Kami telah menghijaukan sekian hektar lahan kota, bagaimana dengan Anda ?’

by Endrizal Nazar

0 komentar:

Posting Komentar

 
Design by Free WordPress Themes | Bloggerized by Lasantha - Premium Blogger Themes | Best Buy Coupons | Re-Design by PKS Piyungan