http://4.bp.blogspot.com/-MjpxfO6YxxI/Uos2MrQm8BI/AAAAAAAAAKQ/CYdQ_Twe_bA/s1600/996048_722726271088205_732148940_n.jpg MELIBATKAN WARGA MENGELOLA SAMPAH ~ Ir. H. Endrizal Nazar

Selasa, 19 November 2013

MELIBATKAN WARGA MENGELOLA SAMPAH



Salah satu pendekatan yang digunakan walikota Bandung terpilih Ridwan Kamil untuk mengatasi problema kota adalah melibatkan partisipasi aktif warga kota dari lapisan terbawah melalui kegiatan ‘ngabandungan’ (mendengarkan). Oleh karenanya diantara janji kampanye pasangan Rido (Ridwan Kamid – Oded M Danial) yaitu akan mengalokasikan dana 100 juta rupiah untuk RW, Karang Taruna dan PKK tingkat Kelurahan, serta LPM setiap tahun. Tentu maksudnya alokasi dana itu bukan bagi-bagi uang yang tidak jelas kinerja dan pertanggungjawabannya tetapi upaya melibatkan warga menyelesaikan problema dilingkungan sendiri sehingga tidak semua persoalan diangkat (diselesaikan) oleh pemerintah kota. Hal ini bukan menunjukkan pemerintah kota lepas tangan terhadap persoalan warganya tetapi mengupayakan keterlibatan warga sebagai wujud pembangunan yang partisipatif tidak hanya dalam tataran konsep tetapi juga dalam aplikasinya. Sudah banyak contoh pembangunan partisipatif lebih mampu menyelesaikan persoalan masyarakat dibanding penyelesaian top down berbasis keinginan pemerintah semata. Salah satu masalah kota yang perlu melibatkan partisipasi warga adalah penanganan sampah. 

Implementasi penanganan sampah selama ini sangat miskin partisipasi warga. Sampah dari rumah tangga diangkut ke tps (tempat penampungan sementara) oleh petugas kebersihan lingkungan. Dari tps, PD Kebersihan membawa sampah ke tpa (tempat pembuangan akhir). Untuk kawasan permukiman padat yang tidak memiliki petugas kebersihan sampah dibuang ke kali/sungai atau ditumpuk di lahan-lahan terbuka. Tidak heran sampah akhirnya menyebar kemana-mana dan memenuhi badan-badan air karena warga kawasan tersebut tidak punya pilihan lain. Sebagian warga juga enggan membayar retribusi sampah kepada PD Kebersihan karena menganggap sudah membayar kepada RT/RW. Padahal dengan konsep di atas bayaran kepada RT/RW adalah untuk pengangkutan sampah dari rumah tangga ke tps, sementara bayaran kepada PD Kebersihan untuk transportasi dari tps ke tpa dan pengelolaan di tpa. Akibatnya persentase warga yang membayar retribusi sampah ke PD Kebersihan tidak optimal sehingga subsidi APBD bagi PD Kebersihan cukup besar dan setiap tahun terus meningkat.

Pola konvensional yang selama ini diterapkan dalam penanganan sampah kota menyebabkan timbulan sampah terus membesar. Disisi lain tpa dengan pola pembuangan terbuka (open dumping) menuntut kebutuhan lahan yang tidak kecil dan dalam jangka waktu tertentu menjadi penuh sementara mencari lahan tpa baru juga tidak mudah. Kondisi inilah yang dialami Kota Bandung dan banyak kota-kota lain di Indonesia. Untuk Kota Bandung sudah beberapa kali terjadi ‘darurat sampah’ karena ditutupnya tpa Leuwi Gajah, Jelekong, dan Pasir Impun. Tpa Sarimukti yang saat ini digunakan juga tidak bisa digunakan dalam jangka panjang sehingga kemungkinan ‘darurat sampah’ bisa terjadi lagi.
Pemerintah Kota Bandung bukannya tidak pernah melibatkan partisipasi warga dalam penanganan sampah. Namun upaya yang dilakukan selama ini lebih bersifat sporadis, tidak berkesinambungan, dan by accident. Ketika darurat sampah terjadi, Pemkot meminta aparat kewilayahan (camat dan lurah) berupaya menangani sendiri sampah dari wilayahnya. Saat itulah warga diajak untuk terlibat dalam gerakan 3 R (Reuse, Reduce, Recycle) yaitu menggunakan kembali, mengurangi, dan mendaur ulang sampah yang mereka hasilkan. Untuk sampah basah (organik) juga digalakkan program pengomposan. Tetapi setelah darurat sampah berakhir (karena tpa sudah bisa digunakan kembali) maka program 3 R dan pengomposan pun berakhir. Demikian juga kemungkinan ditutupnya tpa Sarimukti hanya diantisipasi dengan pembangunan PLTSa (Pembangkit Listrik Tenaga Sampah) yang diharapkan pada saat tpa Sarimukti ditutup sudah beroperasi. Padahal PLTSa yang akan dibangunan tersebut didesain dengan kapasitas pengolahan  700 ton sampah sementara timbulan sampah Kota Bandung tidak kurang dari 1500 ton perhari. 

Untuk melibatkan partisipasi warga, paradigma tentang sampah perlu diluruskan. Sampah tidak harus diartikan sesuatu yang harus sesegera mungkin dibuang dari sumbernya tanpa penanganan (pengelolaan) sama sekali. Demikian juga pemikiran sampah merupakan tanggung jawab sepenuhnya petugas kebersihan dan PD Kebersihan juga harus dihilangkan. Sampah adalah urusan kita semua dan kita semua bisa berperan mengatasinya. Dalam upaya merubah paradigma ini Pemkot perlu merumuskan program jangka panjang yang sistematis dan ini perlu melibatkan pemangku kepentingan baik dari kalangan akademisi, praktisi, lsm lingkungan hidup, birokrasi pemerintahan, aparat lingkungan (RT/RW), termasuk masyarakat sendiri. Disinilah dituntut kesiapan aparatur pemerintahan untuk mendengar, kemudian merumuskan langkah-langkah yang sistematis tersebut. Perubahan paradigma masyarakat akan memudahkan melibatkan keikutsertaan masyarakat dalam pengelolaan sampah.

Seiring dengan perubahan paradigma maka masyarakat lebih mudah dilibatkan secara intens dalam pengelolaan sampah. Masyarakat bisa diajak untuk mengurangi sampah dari sumbernya dengan program 3 R dan pengomposan sehingga yang dibawa ke tps menjadi berkurang. Untuk itu masyarakat perlu dibekali pengetahuan dan keterampilan. Disinilah fasilitasi Pemkot dalam bentuk pelatihan, pendampingan, dan supervisi mutlak diperlukan. Pemanfaatan sebagian dari anggaran 100 juta rupiah bagi setiap RW bisa menjadi stimulan untuk pengguliran program ini. Tidak kalah pentingnya Pemkot harus menyiapkan penyaluran/pemasaran produk daur ulang dan pengomposan ini. PD Kebersihan bisa ditingkatkan perannya dalam penyaluran/pemasaran ini sehingga peluang pengembangan bisnis PD Kebersihan menjadi terbuka. Bagi warga yang tidak memungkinkan melakukan pengomposan di rumah tangganya masing-masing, langkah pemilahan antara sampah organik dan anorganik tetap harus dilakukan. Agar pemilahan yang dilakukan warga optimal maka pengangkutan ke tps juga dalam kondisi terpilah. Untuk itu gerobak pengangkut dilengkapi bak yang terpisah sehingga sampah yang sudah dipilah warga tidak dicampur kembali. 

Pelibatan partisipasi warga dalam pengurangan sampah berikutnya adalah dengan pemberdayaan petugas kebersihan lingkungan dalam pengelolaan sampah di tps. Program 3 R dan pengomposan skala tps bisa diperluas untuk semua tps di Kota Bandung. Disini tentu saja diperlukan petugas kebersihan yang punya pengetahuan dan keterampilan untuk melaksanakan program tersebut. Aparat lingkungan (RW) dan Pemkot perlu bekerjasama untuk melakukan pembekalan bagi petugas kebersihan ini sehingga program 3 R dan pengomposan bisa berjalan efektif. Dengan pengelolaan sampah skala tps ini maka bisa dipastikan volume sampah yang dibuang ke tpa semakin mengecil. Dengan sendirinya beban di pengolahan akhir menjadi berkurang. 

Tidak susah melibatkan partisipasi masyarakat dalam pembangunan kota asal Pemkot mau melakukan secara serius dan tekun. Pengelolaan sampah berbasis masyarakat juga akan berhasil jika keseriusan dan ketekunan Pemkot dengan melibatkan aparat kewilayahan dan lingkungan didukung kebijakan dan pendanaan. Kepada walikota dan wakil walikota Kang Emil dan Mang Oded tentu harapan ini pantas kita tujukan. Bukankah Kang Emil sudah membuktikan 3000 botol bekas minuman ringan bisa disulap menjadi rumah botol yang resik dan menarik. Selamat menunaikan tugas Kang Ridwan dan Mang Oded, semoga Bandung juara segera terwujud.


0 komentar:

Posting Komentar

 
Design by Free WordPress Themes | Bloggerized by Lasantha - Premium Blogger Themes | Best Buy Coupons | Re-Design by PKS Piyungan