Salah
satu pendekatan yang digunakan walikota Bandung terpilih Ridwan Kamil untuk
mengatasi problema kota adalah melibatkan partisipasi aktif warga kota dari
lapisan terbawah melalui kegiatan ‘ngabandungan’ (mendengarkan). Oleh karenanya
diantara janji kampanye pasangan Rido (Ridwan Kamid – Oded M Danial) yaitu akan
mengalokasikan dana 100 juta rupiah untuk RW, Karang Taruna dan PKK tingkat
Kelurahan, serta LPM setiap tahun. Tentu maksudnya alokasi dana itu bukan
bagi-bagi uang yang tidak jelas kinerja dan pertanggungjawabannya tetapi upaya
melibatkan warga menyelesaikan problema dilingkungan sendiri sehingga tidak
semua persoalan diangkat (diselesaikan) oleh pemerintah kota. Hal ini bukan
menunjukkan pemerintah kota lepas tangan terhadap persoalan warganya tetapi
mengupayakan keterlibatan warga sebagai wujud pembangunan yang partisipatif
tidak hanya dalam tataran konsep tetapi juga dalam aplikasinya. Sudah banyak
contoh pembangunan partisipatif lebih mampu menyelesaikan persoalan masyarakat
dibanding penyelesaian top down
berbasis keinginan pemerintah semata. Salah satu masalah kota yang perlu
melibatkan partisipasi warga adalah penanganan sampah.
Implementasi
penanganan sampah selama ini sangat miskin partisipasi warga. Sampah dari rumah
tangga diangkut ke tps (tempat penampungan sementara) oleh petugas kebersihan
lingkungan. Dari tps, PD Kebersihan membawa sampah ke tpa (tempat pembuangan
akhir). Untuk kawasan permukiman padat yang tidak memiliki petugas kebersihan
sampah dibuang ke kali/sungai atau ditumpuk di lahan-lahan terbuka. Tidak heran
sampah akhirnya menyebar kemana-mana dan memenuhi badan-badan air karena warga
kawasan tersebut tidak punya pilihan lain. Sebagian warga juga enggan membayar
retribusi sampah kepada PD Kebersihan karena menganggap sudah membayar kepada
RT/RW. Padahal dengan konsep di atas bayaran kepada RT/RW adalah untuk pengangkutan
sampah dari rumah tangga ke tps, sementara bayaran kepada PD Kebersihan untuk
transportasi dari tps ke tpa dan pengelolaan di tpa. Akibatnya persentase warga
yang membayar retribusi sampah ke PD Kebersihan tidak optimal sehingga subsidi
APBD bagi PD Kebersihan cukup besar dan setiap tahun terus meningkat.
Pola
konvensional yang selama ini diterapkan dalam penanganan sampah kota
menyebabkan timbulan sampah terus membesar. Disisi lain tpa dengan pola
pembuangan terbuka (open dumping) menuntut kebutuhan lahan yang tidak kecil dan
dalam jangka waktu tertentu menjadi penuh sementara mencari lahan tpa baru juga
tidak mudah. Kondisi inilah yang dialami Kota Bandung dan banyak kota-kota lain
di Indonesia. Untuk Kota Bandung sudah beberapa kali terjadi ‘darurat sampah’
karena ditutupnya tpa Leuwi Gajah, Jelekong, dan Pasir Impun. Tpa Sarimukti
yang saat ini digunakan juga tidak bisa digunakan dalam jangka panjang sehingga
kemungkinan ‘darurat sampah’ bisa terjadi lagi.
Pemerintah
Kota Bandung bukannya tidak pernah melibatkan partisipasi warga dalam
penanganan sampah. Namun upaya yang dilakukan selama ini lebih bersifat
sporadis, tidak berkesinambungan, dan by
accident. Ketika darurat sampah terjadi, Pemkot meminta aparat kewilayahan
(camat dan lurah) berupaya menangani sendiri sampah dari wilayahnya. Saat
itulah warga diajak untuk terlibat dalam gerakan 3 R (Reuse, Reduce, Recycle)
yaitu menggunakan kembali, mengurangi, dan mendaur ulang sampah yang mereka
hasilkan. Untuk sampah basah (organik) juga digalakkan program pengomposan.
Tetapi setelah darurat sampah berakhir (karena tpa sudah bisa digunakan
kembali) maka program 3 R dan pengomposan pun berakhir. Demikian juga
kemungkinan ditutupnya tpa Sarimukti hanya diantisipasi dengan pembangunan
PLTSa (Pembangkit Listrik Tenaga Sampah) yang diharapkan pada saat tpa
Sarimukti ditutup sudah beroperasi. Padahal PLTSa yang akan dibangunan tersebut
didesain dengan kapasitas pengolahan 700
ton sampah sementara timbulan sampah Kota Bandung tidak kurang dari 1500 ton
perhari.
Untuk
melibatkan partisipasi warga, paradigma tentang sampah perlu diluruskan. Sampah
tidak harus diartikan sesuatu yang harus sesegera mungkin dibuang dari
sumbernya tanpa penanganan (pengelolaan) sama sekali. Demikian juga pemikiran
sampah merupakan tanggung jawab sepenuhnya petugas kebersihan dan PD Kebersihan
juga harus dihilangkan. Sampah adalah urusan kita semua dan kita semua bisa
berperan mengatasinya. Dalam upaya merubah paradigma ini Pemkot perlu
merumuskan program jangka panjang yang sistematis dan ini perlu melibatkan
pemangku kepentingan baik dari kalangan akademisi, praktisi, lsm lingkungan hidup,
birokrasi pemerintahan, aparat lingkungan (RT/RW), termasuk masyarakat sendiri.
Disinilah dituntut kesiapan aparatur pemerintahan untuk mendengar, kemudian
merumuskan langkah-langkah yang sistematis tersebut. Perubahan paradigma
masyarakat akan memudahkan melibatkan keikutsertaan masyarakat dalam
pengelolaan sampah.
Seiring
dengan perubahan paradigma maka masyarakat lebih mudah dilibatkan secara intens
dalam pengelolaan sampah. Masyarakat bisa diajak untuk mengurangi sampah dari
sumbernya dengan program 3 R dan pengomposan sehingga yang dibawa ke tps
menjadi berkurang. Untuk itu masyarakat perlu dibekali pengetahuan dan
keterampilan. Disinilah fasilitasi Pemkot dalam bentuk pelatihan, pendampingan,
dan supervisi mutlak diperlukan. Pemanfaatan sebagian dari anggaran 100 juta
rupiah bagi setiap RW bisa menjadi stimulan untuk pengguliran program ini.
Tidak kalah pentingnya Pemkot harus menyiapkan penyaluran/pemasaran produk daur
ulang dan pengomposan ini. PD Kebersihan bisa ditingkatkan perannya dalam penyaluran/pemasaran
ini sehingga peluang pengembangan bisnis PD Kebersihan menjadi terbuka. Bagi
warga yang tidak memungkinkan melakukan pengomposan di rumah tangganya
masing-masing, langkah pemilahan antara sampah organik dan anorganik tetap harus
dilakukan. Agar pemilahan yang dilakukan warga optimal maka pengangkutan ke tps
juga dalam kondisi terpilah. Untuk itu gerobak pengangkut dilengkapi bak yang
terpisah sehingga sampah yang sudah dipilah warga tidak dicampur kembali.
Pelibatan
partisipasi warga dalam pengurangan sampah berikutnya adalah dengan
pemberdayaan petugas kebersihan lingkungan dalam pengelolaan sampah di tps.
Program 3 R dan pengomposan skala tps bisa diperluas untuk semua tps di Kota
Bandung. Disini tentu saja diperlukan petugas kebersihan yang punya pengetahuan
dan keterampilan untuk melaksanakan program tersebut. Aparat lingkungan (RW)
dan Pemkot perlu bekerjasama untuk melakukan pembekalan bagi petugas kebersihan
ini sehingga program 3 R dan pengomposan bisa berjalan efektif. Dengan pengelolaan
sampah skala tps ini maka bisa dipastikan volume sampah yang dibuang ke tpa
semakin mengecil. Dengan sendirinya beban di pengolahan akhir menjadi
berkurang.
Tidak
susah melibatkan partisipasi masyarakat dalam pembangunan kota asal Pemkot mau
melakukan secara serius dan tekun. Pengelolaan sampah berbasis masyarakat juga
akan berhasil jika keseriusan dan ketekunan Pemkot dengan melibatkan aparat
kewilayahan dan lingkungan didukung kebijakan dan pendanaan. Kepada walikota
dan wakil walikota Kang Emil dan Mang Oded tentu harapan ini pantas kita
tujukan. Bukankah Kang Emil sudah membuktikan 3000 botol bekas minuman ringan
bisa disulap menjadi rumah botol yang resik dan menarik. Selamat menunaikan
tugas Kang Ridwan dan Mang Oded, semoga Bandung juara segera terwujud.
0 komentar:
Posting Komentar