Keberadaan pedagang kaki
lima (PKL) menjadi fenomena yang tidak tidak bisa dihindarkan kota-kota di Indonesia. Pertumbuhan PKL semakin pesat
seiring dengan sulitnya mendapatkan kesempatan kerja di sektor formal.
Kebijakan industrialisasi serta minimnya perhatian pada sektor pertanian
menyebabkan desa-desa ditinggalkan warganya untuk mengadu nasib di perantauan
(kota). Fenomena urbanisasi ini sangat jelas terlihat dengan meningkatnya
jumlah pendatang ke kota-kota besar setelah lebaran berakhir. Tanpa
keterampilan dan bekal yang memadai ditengah sulitnya lowongan kerja, jelas
akan sulit bagi mereka mendapatkan pekerjaan. Hal inilah yang kemudian
mendorong mereka bekerja apa saja yang bisa menghasilkan uang. Salah satu sektor
yang kemudian memberikan peluang yaitu
bekerja disektor informal khususnya menjadi pedagang kaki lima.
Kota Bandung sebagai kota
metropolitan menanggung beban PKL yang cukup besar. Upaya untuk mengatasi
bukannya tidak ada, tetapi langkah-langkah yang dilakukan masih belum
membuahkan hasil sebagaimana yang diharapkan.
Mengatasi
persoalan PKL memang bukanlah perkara yang sederhana. Penanganan PKL tidak bisa
dilakukan hanya dengan penggusuran sebagaimana kecendrungan yang terjadi
dibanyak kota saat ini. Apalagi penggusuran dilakukan dengan kurang manusiawi
sehingga sering menimbulkan bentrok fisik yang merugikan banyak pihak. Dari
aspek ketertiban PKL memang mengganggu kepentingan publik, tetapi sesungguhnya
mereka merupakan kelompok masyarakat yang bisa menyelesaikan problema ekonomi
mereka yang seharusnya menjadi tanggung jawab negara. Oleh karena itu memahami
persoalan PKL dari berbagai dimensi menjadi syarat mutlak sebagai langkah awal
upaya penanganan PKL.
Masalah-masalah
yang terkait dengan pedagang kaki lima (PKL) di perkotaan Indonesia cukup
banyak. Mereka berjualan di trotoar jalan, di taman-taman kota, di
jembatan penyeberangan, bahkan di badan jalan. Pemerintah kota berulangkali
menertibkan mereka yang ditengarai menjadi penyebab kemacetan lalu lintas
ataupun merusak keindahan kota. Upaya penertiban ini kadangkala melalui
bentrokan dan perlawanan fisik dari PKL. Bersama
dengan komponen masyarakat lainnya, tidak jarang para PKL pun melakukan unjuk
rasa. Pemerintah pun dihujat dan masalah PKL ini disebut sebagai bentuk
kegagalan pemerintah dalam menyediakan lapangan kerja untuk kaum miskin.
Salah
satu upaya Pemkot Bandung pada masa kepemimpinan walikota terdahulu dalam
mengatasi menjamurnya PKL yaitu dengan menempatkan mereka di pertokoan yang
sudah tidak beroperasi lagi serta di pasar yang sudah direvitalisasi. Tetapi di
lokasi yang baru ini PKL tidak bertahan lama dan kembali ke jalanan. Tentu
menjadi pertanyaan kenapa kebijakan penempatan PKL di ruang dagang
(formalisasi) baik di eks pertokoan maupun di pasar yang dikerjasamakan
cendrung gagal. Jawaban terhadap persoalan ini bisa dilihat dari cara pandang
Pemkot terhadap PKL. Pemkot melihat sektor informal khususnya PKL perlu
ditingkatnya statusnya menjadi sektor formal (pedagang yang mempunyai ruang
dagang/kios tetap). Oleh karena itu penyiapan ruang dianggap cara terbaik
formalisasi pedagang kaki lima ini. Dalam kerangka formalisasi PKL ini, Pemkot
kurang memahami kemampuan pedagang untuk menebus ruang dagang yang ditawarkan
kepada mereka. Dengan nilai jual ruang dagang di atas 5 juta rupiah permeter persegí,
jelas bukanlah harga yang murah bagi PKL bagaimana pun pola pembayarannya.
Demikian pula kultur PKL yang cendrung mencari pusat keramaian tidak dipahami
seutuhnya, sehingga penempatan di eks pertokoan yang tidak strategis justru
membunuh perkembangan usaha mereka.
Fenomena
sektor informal merupakan fenomena yang sangat umum terjadi di negara-negara berkembang.
Meskipun pembahasannya telah dilakukan lebih dari tiga puluh tahun, tidak ada
konsensus mengenai definisi pasti dari sektor informal. Pengertian sektor
informal ini lebih sering dikaitkan dengan dikotomi sektor formal-informal.
Dikotomi kedua sektor ini paling sering dipahami dari dokumen yang dikeluarkan
oleh ILO (1972). Badan Tenaga Kerja Dunia ini mengidentifikasi sedikitnya tujuh
karakter yang membedakan kedua sektor tersebut: (1) kemudahan untuk masuk (ease
of entry), (2) kemudahan untuk mendapatkan bahan baku, (3) sifat kepemilikan,
(4) skala kegiatan, (5) penggunaan tenaga kerja dan teknologi, (6) tuntutan
keahlian, dan (7) deregulasi dan kompetisi pasar.
Pembahasan dikotomi tersebut
acapkali mengabaikan keterkaitan sektor informal dengan aspek ruang dalam
proses urbanisasi. Padahal seperti dapat kita amati di Indonesia ataupun di
negara-negara berkembang lainnya, perkembangan sektor informal seiring dengan
urbanisasi dan perubahan ruang perkotaan.
Ananya Roy dan Nezar Alsayyad (2004), melalui bukunya Urban Informality: Transnational Perspectives from the Middle East, Latin America and South Asia, mengenalkan konsep informalitas perkotaan sebagai logika yang menjelaskan proses transformasi perkotaan. Mereka tidak menekankan dikotomi sektor formal dan informal tetapi pada pengertian bahwa informalitas sebagai sektor yang tidak terpisah dalam struktur ekonomi masyarakat. Menurut mereka, informalitas ini adalah suatu moda urbanisasi yang menghubungkan berbagai kegiatan ekonomi dan ruang di kawasan perkotaan. Menurut pengamatan mereka pada kota-kota di Timur Tengah, Amerika Latin, dan Asia, perumahan dan pasar lahan informal tidak hanya merupakan domain bagi penduduk miskin tetapi penting pula untuk penduduk kelas menengah. Memakai konsep informalitas perkotaan dalam mencermati fenomena PKL di perkotaan mengubah perspektif terhadap keberadaan mereka di perkotaan. Mereka bukanlah kelompok yang gagal masuk dalam sistem ekonomi perkotaan. Mereka bukanlah komponen ekonomi perkotaan yang menjadi beban bagi perkembangan perkotaan. PKL adalah salah satu moda dalam transformasi perkotaan yang tidak terpisahkan dari sistem ekonomi perkotaan. Lapangan pekerjaan yang mereka lakukan adalah salah satu moda transformasi dari masyarakat berbasis pertanian ke industri dan jasa. Mengingat kemudahan untuk memasuki kegiatan ini berikut dengan minimnya tuntutan keahlian dan modal usaha, penduduk yang bermigrasi ke kota cenderung memilih kegiatan PKL. Ketersediaan lapangan pekerjaan sektor formal bukanlah satu-satunya indikator ketersediaan lapangan kerja. Keberadaan sektor informal pun adalah wujud tersedianya lapangan kerja. Cukup banyak studi di negara-negara Dunia Ketiga yang menunjukkan bahwa tidak semua pelaku sektor informal berminat pindah ke sektor formal. Bagi mereka mengembangkan kewirausahaannya adalah lebih menarik ketimbang menjadi pekerja di sektor formal. Masalah yang muncul berkenaan dengan PKL ini adalah banyak disebabkan oleh kurangnya ruang untuk mewadahi kegiatan PKL di perkotaan. Konsep perencanaan ruang perkotaan yang tidak didasari oleh pemahaman informalitas perkotaan sebagai bagian yang menyatu dengan sistem perkotaan akan cenderung mengabaikan tuntutan ruang untuk sektor informal termasuk PKL. Praktek perencanaan kota di negara-negara Dunia Ketiga termasuk di Indonesia menyebabkan banyaknya produk tata ruang perkotaan yang tidak mewadahi sektor informal. Kegiatan-kegiatan perkotaan didominasi oleh sektor-sektor formal yang memiliki nilai ekonomis yang tinggi. Alokasi ruang untuk sektor-sektor informal termasuk PKL adalah ruang marjinal. Sektor informal terpinggirkan dalam rencana tata ruang kota yang tidak didasari pemahaman informalitas perkotaan (Deden Rukmana : PKL dan Informalitas Perkotaan)
Dalam kasus Kota Bandung, perlu
perubahan paradigma tentang PKL dari unsur penambah kekumuhan kota menjadi
sektor yang berkontribusi bagi pertumbuhan ekonomi dan lapangan kerja. Oleh
karena itu konsep penataan harus dikaji secara mendasar baik dari aspek sosio
kultural, maupun potensi ekonomi. Kerjasama dengan sektor formal agar
memberikan ruang (tempat) usaha merupakan salah satu alternatif yang dapat
ditempuh. Pendekatan bisa melalui perijinan yang mewajibkan sektor formal yang
dikelola swasta murni memberikan ruang yang memadai bagi sektor informal ini.
Kewajiban ini sudah masuk dalam Perda 02
tahun 2009 tentang Penataan
Pasar Tradisional, Pusat Perbelanjaan, dan Toko Modern.
Dalam kerjasama pembangunan pasar
perlu dikaji pola penempatan PKL tanpa perlu membeli kios dari pengembang
pasar. Oleh karenanya, dalam setiap perjanjian kerjasama Pemkot harus
memasukkan klausul yang memungkinkan Pemkot mendapatkan ruang dagang yang bisa
digunakan untuk menampung PKL. Dengan kepemilikan ada pada pemerintah kota,
pola sewa bisa diatur lebih fleksibel sehingga maksud kerjasama dalam upaya
menampung PKL lebih realistis.
Namun demikian langkah formalisasi
diatas bukanlah satu-satunya solusi. Sebagai kelompok yang punya mobilitas tinggi
dan cendrung adaptif terhadap tuntutan pasar, PKL perlu diberi ruang gerak
tanpa terjebak pada formalisasi usaha. Dalam jangka pendek dan menengah membuat
zonasi bagi PKL sebagaimana diatur dalam Perda Penataan dan Pembinaan PKL bisa
menjadi bagian dari solusi. Namun dalam jangka panjang penataan ruang yang
memungkinkan mereka memiliki lokasi usaha dengan pola tidak menetap menjadi
salah satu alternatif solusi mengatasi kesemrawutan Kota Bandung selama ini.
By Endrizal Nazar
0 komentar:
Posting Komentar