http://4.bp.blogspot.com/-MjpxfO6YxxI/Uos2MrQm8BI/AAAAAAAAAKQ/CYdQ_Twe_bA/s1600/996048_722726271088205_732148940_n.jpg Desember 2013 ~ Ir. H. Endrizal Nazar

Senin, 16 Desember 2013

GERAKAN SEJUTA BIOPORI

Penyuluhan biopori bagi ketua RW, ketua RT, dan ibu-ibu PKK se-Kelurahan Kebon Jeruk Andir dalam rangka Gerakan Sejuta Biopori se-Kota Bandung

Minggu, 08 Desember 2013

KINERJA PENGGUNAAN ANGGARAN



Unit Kerja Presiden Bidang Pengawasan dan Pengendalian Pembangunan (UKP4) menjadikan penyerapan anggaran sebagai salah satu komponen penilaian kinerja kementrian. Karena menjadi salah satu indikator kinerja, maka pada triwulan terakhir akan terjadi lonjakan penggunaan anggaran. Lonjakan penggunaan anggaran dalam waktu singkat ini (3 bulan terakhir) tentu rentan terhadap penyimpangan baik dari aspek keuangan maupun kualitas pekerjaan. Kondisi ini diperparah dengan musim hujan akhir tahun yang berpotensi besar merusak proyek infrastruktur karena terendam dan terkikis banjir yang sudah menjadi fenomena musim hujan di Indonesia. Akibatnya umur infrastruktur menjadi lebih pendek bahkan tidak jarang baru dibangun sudah rusak dan jelas ini sangat merugikan masyarakat. Anggaran akan tersedot untuk memperbaiki infrastruktur yang rusak tersebut padahal semestinya bisa digunakan untuk perluasan infrastruktur yang ada maupun untuk sektor-sektor lain. Dari aspek perencanaan jangka menengah (5 tahunan) capaian pembangunan sulit terwujud karena tidak terjadi penambahan capaian kuantitatif maupun kualitatif tahunan yang terakumulasi dalam 5 tahun.

Jika kita mencermati realiasi Anggaran dan Pendapatan Belanja Daerah (APBD), rendahnya penyerapan anggaran tidak hanya terjadi dipusat namun juga di daerah. Akibatnya triwulan keempat kegiatan pemerintahan menjadi sangat padat, sehingga mengesankan pemerintah sedang menghabiskan anggaran seperti banyak anggapan selama ini. Lantas apa yang menyebabkan terjadinya keterlambatan penyerapan anggaran ini ? Ada beberapa faktor yang bisa menjadi penyebab, diantaranya :

Pertama, keterlambatan pengesahan dan penyelesaian dokumen pelaksanaan anggaran. Banyak daerah yang pengesahan APBDnya sudah masuk ke tahun berjalan yang harusnya sesuai dengan ketentuan yang berlaku disahkan pada awal Desember tahun sebelumnya. Keterlambatan ini jelas berdampak pada penyelesaian dokumen pelaksanaan anggaran yang menjadi syarat pencairan anggaran. Akibatnya 3 bulan pertama (triwulan 1) hanya digunakan untuk penyelesaian dokumen penganggaran diinternal pemerintahan, 3 bulan kedua (triwulan 2) proses administrasi dan lelang pekerjaan, sehingga kegiatan baru bisa dimulai pada triwulan ketiga

Kedua, pendapatan dalam APBN maupun APBD bersifat proyeksi dan masuk ke kas negara/daerah secara bertahap dari setoran pajak maupun sumber lain. Kecendrungan pemasukan selama ini umumnya kecil di awal tahun dan besar menjelang akhir tahun. Dengan pertimbangan ini belanja dalam APBN dan APBD yang bersentuhan langsung dengan kepentingan rakyat biasanya dialokasikan pada triwulan 3 dan 4 karena pendapatan awal tahun lebih banyak dialokasikan untuk memenuhi kebutuhan gaji dan operasional pemerintahan.

Ketiga, adanya kegiatan yang masih menunggu payung hukum sementara anggaran sudah dialokasikan. Sebuah kebijakan setingkat Undang Undang atau Perda selalu membutuhkan Peraturan Pemerintah dan Peraturan Kepala Daerah (Perkada) untuk implementasinya. Penataan PKL sebagai contoh, walaupun sudah ada Perdanya, terkendala implementasinya karena belum selesainya Perkada sebagai acuan teknis pelaksanaan di lapangan. Akibatnya alokasi anggaran penataan dan penertiban PKL tidak bisa digunakan.

Keempat, tidak tercapainya kesepakatan harga dengan masyarakat berkaitan dengan pembebasan lahan untuk program pembangunan. Banyak anggaran pembebasan lahan yang akhirnya menjadi saldo lebih perhitungan anggaran (silpa) diakhir tahun karena gagalnya negosiasi harga lahan (tanah) yang diperlukan untuk infrastruktur. Penyerapan anggaran akan semakin rendah jika kegiatan yang berkaitan dengan lahan yang dibebaskan juga sudah dianggarkan.

Rendahnya penyerapan anggaran tentu tidak dimaknai dengan memaksakan anggaran harus habis di akhir tahun kalau memang akan berdampak pada penyimpangan karena lemahnya pengawasan akibat terbatasnya waktu dan banyaknya kegiatan. Alih-alih meningkatkan kinerja pembangunan, penggunaan anggaran secara besar-besaran diakhir tahun berpeluang besar jadi bancakan pihak-pihak tertentu dan kegiatan yang dihasilkan berkualitas rendah. Apalagi ukuran kinerja tidak sebatas penggunaan anggaran tetapi yang lebih mendasar sejauh mana keberhasilan (outcome) sebuah kegiatan dan manfaatnya bagi masyarakat. Oleh karenanya ada beberapa langkah yang bisa dilakukan untuk menghindari rendahnya penyerapan anggaran, yaitu :

Pertama, legislatif dan eksekutif harus taat asas dalam penyusunan, pembahasan, dan pengesahan anggaran. Salah satu kelemahan yang terus berulang setiap tahun yaitu keterlambatan dalam proses penganggaran. Kebijakan Umum Anggaran (KUA) dan Prioritas dan Plafon Anggaran Sementara (PPAS) sebagai kerangka penyusunan RAPBD yang seharusnya disepakati Kepala Daerah dan DPRD paling lambat akhir bulan Juli kenyataannya bulan Oktober baru mulai dibahas.  Dampaknya tentu saja molornya penyusunan dan pembahasan RAPBD. DPRD dengan fungsi pengawasannya harus berani mengingatkan dan meminta Kepala Daerah agar mengikuti alur penganggaran dengan tepat waktu. Ketiadaan sanksi dalam peraturan perundang-undangan bagi daerah yang terlambat pengesahan APBDnya menjadi faktor dominan banyak daerah malas menyelesaikan APBD tepat waktu. Ada wacana dari Kementrian Keuangan akan memotong Dana Alokasi Umum (DAU) bagi daerah yang terlambat pengesahan APBDnya. Namun kalaupun direalisasikan sanksi ini tentunya yang rugi masyarakat karena biasanya Pemerintah Daerah akan mengurangi porsi belanja untuk kepentingan masyarakat bukan belanja untuk aparatur pemerintahan.

Kedua, dengan kecendrungan pemasukan lebih kecil diawal tahun perlu skala prioritas dalam pencairan anggaran. Pencairan belanja kegiatan untuk publik lebih diprioritaskan dibanding belanja untuk kepentingan penyelenggara pemerintahan. Pembangunan/perbaikan infrastruktur anggarannya lebih dulu dicairkan sebelum pembelian kendaraan dinas dan pembelian perangkat penunjang kerja aparatur pemerintahan. Biasanya kendaraan maupun perangkat penunjang yang lama masih bisa digunakan sehingga tidak terlalu mendesak untuk segera diganti.

Ketiga, kegiatan yang membutuhkan payung hukum dahulu harus diselesaikan terlebih dahulu payung hukumnya sebelum dialokasikan anggarannya. Dituntut keseriusan eksekutif untuk menindaklanjuti setiap peraturan perundangan dalam bentuk peraturan pelaksanaannya. Banyak perda yang mandul karena penyelesaian perkadanya terkatung-katung. Disisi lain peraturan perundangan yang dihasilkan jangan terlalu banyak menuntut adanya peraturan pelaksanaan sehingga beban eksekutif untuk menyusun peraturan teknis tidak menyita waktu.
Keempat, negosiasi harga lahan harus dituntaskan sebelum anggarannya dialokasikan. Tim pembebasan lahan juga harus mampu menganalisis perkembangan harga sehingga anggaran yang dialokasikan memenuhi kebutuhan. Disamping itu untuk lahan sengketa sebaiknya tidak mudah mengalokasikan anggaran sebelum sengketanya dituntaskan.

by Endrizal Nazar

Sabtu, 07 Desember 2013

SILATURAHIM DENGAN KETUA BAZ CICENDO

Silaturahim dengan ketua BAZ (Wakil Ketua MUI) Kecamatan Cicendo Ustadz Muhammad Ishak Supriadi.

SILATURAHIM DENGAN SEKOLAH IBU CAMPAKA

Mengisi taushiyah untuk sekolah ibu Kelurahan Campaka Kecamatan Andir sekaligus dialog dan penyampaian aspirasi berkaitan permasalahan Kota Bandung

Kamis, 05 Desember 2013

SILATURAHIM DENGAN MAJLIS TA'LIM AL MUHSIN

Silaturahim dengan ibu-ibu majlis ta'lim Al Muhsin Rw 09 Kelurahan Maleber Andir

QUU ANFUSAKUM WA AHLIIKUM NAARO




“Wahai orang-orang yang beriman! Peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu, penjaganya malaikat-malaikat yang kasar dan keras, yang tidak durhaka kepada Alloh terhadap apa yang Dia perintahkan kepada mereka dan selalu mengerjakan apa yang diperintahkan.” QS. At Tahrim  (66) ayat 6 

Umar bin Khottob berkata, “Saat turun ayat ini bertanya kepada Rosul , ‘Kami akan jaga diri kami, lalu bagaimana dengan keluarga kami? Jawab Rosul , “Kau larang mereka apa-apa yang Allah telah larang dari-Nya, kamu perintah mereka dengan apa yang telah Alloh perintah dari-Nya. Jika itu kamu lakukan akan menyelamatkan mereka dari neraka.

Subhanalloh! Ternyata islam melarang kita menjadi manusia-manusia egois, yang merasa cukup sholeh sendiri tanpa mensholehkan orang lain. Apalagi mensholehkan anak kandung sendiri, itu kewajiban utama para orang tua yang tentu saja akan dimintai pertanggungjawaban di akhirat nanti. Tapi bicara soal mensholehkan anak ini begitu banyak para orang tua yang belum tahu, pura-pura tidak tahu atau malah masa bodoh. Yang tidak/belum tahu, maka tugas kita untuk memberi tahu. Yang pura-pura tidak tahu, tugas kita untuk ngingetin terus jangan sampai nanti di akhirat kita jadi orang tua yang bangkrut. Siapa orang tua yang bangkrut? Orang tua yang sholeh yang jaraknya dengan surga tinggal sedikit lagi, tapi karena selama di dunia tidak berupaya keras mensholehkan anak (anak-anaknya calon neraka semua) maka ditimbang-timbang seluruh amalnya oleh Alloh dengan adil.  Jadinya keputusannya adalah... orang tua harus masuk neraka dan anak-anaknya masuk surga. Lho, lho kok jadi kebalik gitu sih? Ya itulah keputusan yang adil dari Alloh.  Maka, yuk menjadi orang tua yang bersemangat untuk mensholehkan anak-anaknya seperti nabi Nuh as yang sampai detik-detik terakhir malaikat Izroil mau mencabut nyawa putranya, Kan’an, masih terus mendakwahi putranya. “Nak, sini nak. Tidak ada tempat berlindung selain Alloh nak”. Sayang putranya salah memilih jalan. Tapi kalau sudah maksimal begini upaya sang ortu, maka anaklah yang masuk neraka.   

Untuk para orang tua yang masa bodoh kita ingatkan terus. Barangkali dengan nasihat berikut. Ali bin abi Tholib berkata dari Ibnu Abbas, “Jaga diri dan keluargamu, suruhlah mereka berdzikir dan berdoa kepada Allah, sehingga Allah menyelamatkan kamu dan mereka dari neraka”. Yah memang mendidik anak  tidaklah semudah membalikkan telapak tangan. Apalagi mensholehkan anak, gampang-gampang susah. Tapi ibarat mengasah pisau, itulah tugas para orangtua, perlahan-lahan tanpa henti, setiap saat, setiap hari terus mengetuk pintu hatinya membuka mata hatinya dibarengi dengan doa kuat kepada Sang Pemilik Hidayah yaitu Alloh. Barangkali hari ini belum terketuk, siapa tahu esok lusa. Barangkali tahun ini belum terbuka, siapa tahu di tahun-tahun depan.

Lalu apa saja sih yang harus diajarkan kepada anak-anak kita? Sebagian ulama berkata, “Kalau dikatakan Quu Anfusakum... mencakup arti anak-anak, karena anak adalah bagian dari mereka. Maka hendaklah orang tua mengajarkan tentang halal haram dan menjauhkan dari kemaksiatan dan dosa juga mengajarkan hukum-hukum lain selain hal itu.” Intinya, selain urusan aqidah (rukun iman), ibadah (rukun islam), anak-anak pun harus didekatkan hatinya dengan Al Qur’an. Sebab segala sumber ilmu ada didalam Al Qur’an.

Jadi jangan lupakan anak-anak kita. Apalagi kalau kita sudah sholeh malah sudah jadi juru dakwah, maka jadikanlah anak-anak kita sebagai obyek dakwah pertama dan utama seperti perintah Allah berikut ini.  “Dan berilah peringatan kepada kerabat-kerabatmu yang dekat”. QS. Asy-Syu’aro(26) :214.

Anak-anak sholeh adalah investasi akhirat kita. Ketika orangtua menempati alam barzah maka terputuslah semua amal kecuali (salah satunya), doa anak-anak yang sholeh. “Dan perintahkanlah keluargamu melaksanakan shalat dan sabar dalam melaksanakannya. Kami tidak meminta rezeki kepadamu, Kami-lah yang Memberi rezeki kepadamu. Dan akibat (yang baik di akhirat) adalah bagi orang yang bertakwa.”. QS Thaha (20) : 132. 

Maka mulai hari ini kita tanamkan pendidikan Islam sejak dini, bahkan sejak sebelum anak-anak kita lahir. Tapi buat yang anak-anaknya sudah besar, tidak ada istilah terlambat untuk memulai kebaikan. “Setiap anak itu dilahirkan dalam keadaan fitroh, maka hanya kedua orangtuanyalah yang akan menjadikannya seorang yahudi, nasrani atau majusi.” (HR Bukhori). Mari kita jaga agar anak-anak kita tetap fitroh, tetap berada dalam track dan kendali Alloh SWT.

by Neneng Amiarti

Senin, 02 Desember 2013

DANA ASPIRASI ATAU PROGRAM ASPIRASI


Pada penyusunan RAPBN 2011 beberapa tahun yang lalu masyarakat sempat dihebohkan dengan munculnya ide kalangan DPR agar disediakan dana aspirasi 1 milyar rupiah untuk setiap anggota DPR. Dana yang akan disalurkan anggota DPR ke masyarakat di daerah pemilihannya tersebut dianggap sebagai salah satu cara mengantisipasi banyaknya permohonan kepada anggota DPR dari warga karena merasa aspirasi mereka belum terwadahi dalam program pembangunan.
 
Setelah menghadapi kecaman luas dari banyak kalangan, Idrus Marham dari Fraksi Partai Golkar yang menjadi juru bicara utama perjuangan dana aspirasi mencoba menggunakan istilah lain yaitu program aspirasi. Tetapi perubahaan usulan tersebut tetap saja menimbulkan pro kontra di masyarakat. Bagaimana seharusnya anggota DPR memperjuangkan aspirasi masyarakat di daerah pemilhannya tanpa terjebak dengan pro kontra seperti diatas ?

Bila kita mencermati anatomi APBN, dana aspirasi bisa ditempatkan pada pos belanja bantuan sosial/hibah atau belanja program/kegiatan pada Kementerian dan Lembaga (KL). Namun melihat keinginan kuat untuk meningkatkan transfer ke daerah maka penempatan dana aspirasi dapat berupa Dana Alokasi Khusus (DAK) atau bantuan keuangan pada pos pendapatan di APBD. Karena dana tersebut sudah diblok untuk aspirasi yang masuk melalui anggota DPR, Kepala Daerah dalam hal ini Tim Anggaran Pemerintah Daerah (TAPD) tentu tidak mau mengutak atik pengalokasian dan peruntukannya. Berdasarkan pos belanja dalam APBD keluarnya dana aspirasi bisa melalui dua (2) cara :

Pertama, jika wujudnya menjadi bantuan sosial/hibah, maka konstituen di daerah pemilihan anggota DPR akan menerima dana tunai yang pencairannya melalui sekretariat pemerintah daerah. Sasaran bantuan yaitu kelembagaan yang ada di masyarakat seperti LSM, yayasan, ormas, dan lembaga sosial/profesi lainnya. Belajar dari pengalaman dana aspirasi yang ada di beberapa daerah melalui anggota DPRD Propinsi dan DPRD Kabupaten/Kota, pola ini sangat rentan diselewengkan dalam bentuk lembaga penerima fiktif dan pemotongan/uang jasa untuk anggota DPR. Hal inilah yang pernah menjerat anggota DPRD di beberapa Kabupaten/Kota di Jawa Barat. Dengan tidak adanya audit terhadap lembaga penerima (kecuali kalau ada laporan penyimpangan) maka potensi penyimpangan/penyelewengan sangat besar. 

Kedua, jika wujudnya berupa program/kegiatan yang dilaksanakan oleh Satuan Organisasi Perangkat Daerah (SOPD), peluang penyimpangan/penyelewengan berupa komisi/fee dari pihak ketiga yang melaksanakan pekerjaan. Kasus korupsi yang melibatkan beberapa anggota DPR tidak terlepas dari fee yang mereka peroleh dari rekanan kementerian dan lembaga yang sudah mereka perjuangkan anggarannya. Kalau fee dari rekanan kementerian/lembaga harus dibagi dengan beberapa rekan di komisi terkait, maka fee dari dana aspirasi akan dinikmati sendiri. Fee ini akan semakin besar jika pihak ketiga yang melaksanakan pekerjaan ditentukan anggota DPR. Bukan hal yang terlalu sulit merekayasa proses tender sekalipun sudah menggunakan sistem elektonik karena akhirnya yang memberikan penilaian aparatur birokrasi juga. Dengan belum terwujudnya tata kelola pemerintahan yang baik, penyimpangan dalam proses tender selalu terbuka.

Untuk menunjukkan komitmen DPR dalam memperjuangkan aspirasi masyarakat tidak perlu dengan dana/program aspirasi yang akan memperbesar defisit APBN. Upaya yang lebih tepat yaitu dengan mengawal aspirasi masyarakat yang muncul saat musyawarah perencanaan pembangunan (musrenbang). Musrenbang sebagai mekanisme penjaringan aspirasi masyarakat yang diatur undang-undang sayangnya jarang diikuti wakil rakyat. Seharusnya anggota dewan mengawal aspirasi masyarakat yang muncul dalam setiap pelaksanaan musrenbang sehingga bisa dipastikan masuk dalam rencana kerja pemerintah/pemerintah daerah (RKP/D). Yang sering terjadi aspirasi masyarakat kalah prioritas dari kegiatan KL/SOPD yang tidak langsung bersentuhan dengan kepentingan masyarakat luas. Apalagi dengan pola musrenbang sebatas kompilasi usulan masyarakat tanpa ada kejelasan program/kegiatan prioritas. Membenahi mekanisme musrenbang dan meningkatkan kemampuan dan kemauan anggota dewan untuk melakukan elaborasi Rencana Kerja dan Anggaran (RKA) KL/SOPD adalah solusi terbaik. Prinsip anggaran berbasis kinerja seharusnya didahului oleh perencanaan berbasis kinerja. Hal inilah yang selama ini luput dari perhatian wakil rakyat baik di pusat maupun di daerah.

Mekanisme musrenbang hendaknya didesain dengan parameter yang jelas dan terukur dalam menentukan program prioritas dalam setiap level pelaksanaannya. Tak kalah pentingnya bagaimana mendesain musrenbang yang lebih partisipatif dan memancing kegairahan warga untuk berpartisipasi secara maksimal. Dengan kejelasan prioritas serta pengawalan anggota dewan diharapkan program/kegiatan terakomodir dalam RKP/D. Kegiatan reses anggota DPR perlu dioptimalkan untuk menindaklanjuti aspirasi tersebut melalui pertemuan dengan kepala daerah, anggota DPRD maupun masyarakat luas. Pertemuan dengan kepala daerah jangan hanya sebatas menampung aspirasi tetapi juga mengevaluasi sejauhmana efektivitas pengguliran dana APBN yang ditransfer ke daerah. Salah satu hal yang jarang (bahkan mungkin tidak pernah) dilakukan anggota DPR dalam masa reses yaitu bertemu dengan anggota DPRD. Hal ini penting dilakukan untuk memilah program yang diakomodir di APBN dan di APBD agar aspirasi masyarakat mendapat kejelasan pengalokasian anggarannya ditengah keterbatasan APBN dan APBD.

Menumpuk dan berulangnya aspirasi masyarakat dalam setiap tahun anggaran bisa diantisipasi dengan meningkatkan kapasitas dan kesungguhan anggota dewan dalam melakukan elaborasi RKA KL dan SOPD. Dengan cara ini fungsi penganggaran dewan untuk mewujudkan APBN/APBD yang efektif dan efisien akan terlaksana . Implementasi anggaran berbasis kinerja harus terlihat dalam indikator outcomes (hasil) dari sebuah kegiatan. Tanpa kejelasan outcomes fungsi anggaran untuk mencapai targetan pembangunan yang dimuat dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah (RPJM) tidak akan terwujud. Hal ini cukup menjadi alasan bagi anggota dewan untuk mencoret kegiatan tersebut dari APBN/APBD. Dengan kejelasan kinerja akan meningkatkan capaian pembangunan sehingga aspirasi masyarakat sebagai bagian dari target RPJM dengan sendirinya akan terakomodir.

by Endrizal Nazar

Tulisan ini pernah dimuat dalam rubrik Opini Harian Umum Pikiran Rakyat (PR) dengan judul "Program Aspirasi", Senin 28 Juni 2010 dan dimuat kembali dalam blog ini dengan sedikit revisi

 
Design by Free WordPress Themes | Bloggerized by Lasantha - Premium Blogger Themes | Best Buy Coupons | Re-Design by PKS Piyungan