Anggaran
belanja rutin pemerintah daerah saat ini rata-rata mencapai 54 persen dari
total Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD). Idealnya anggaran belanja
rutin ini sekitar 30 – 35 persen saja dari APBD. Untuk itu Kementerian Dalam
Negeri akan melakukan koreksi (PR, 8 Oktober 2010).
Bila
kita mencermati anatomi APBD, nomenklatur
(istilah) belanja rutin tidak akan ditemukan lagi. Nomenklatur belanja rutin
dikenal pada saat APBD masih menerapkan konsep anggaran berimbang (belanja
disesuaikan dengan pendapatan yang diterima). Dengan penerapan konsep anggaran
berbasis kinerja (pengalokasian belanja disesuaikan dengan target kinerja yang
direncanakan), istilah belanja rutin tidak ada lagi dalam pos belanja APBD. Bila
kita membandingkan dua konsep ini, konsep anggaran berimbang terdiri dari pos
belanja utama yaitu belanja rutin (yang diperuntukkan bagi aparatur dan
penyelenggara pemerintahan) dan belanja pembangunan (yang diperuntukkan bagi
pelaksanaan pembangunan baik fisik maupun non fisik). Sementara konsep anggaran
berbasis kinerja membagi pos belanja dalam 2 peruntukan yaitu belanja langsung
(berupa gaji pegawai, hibah, bantuan sosial, dan sejenisnya dan belanja tidak
langsung (belanja untuk kegiatan pemerintahan dan pembangunan). Memaknai anggaran
belanja rutin yang dimaksudkan Kementerian Dalam Negeri tentu mengarah pada
belanja yang dialokasi untuk pelaksanaan tugas pokok dan fungsi aparatur dan
penyelenggara pemerintahan (Pemerintah Daerah dan DPRD). Belanja ini terdiri
dari belanja (gaji) pegawai yang ada pada pos belanja tidak langsung, dan
belanja barang dan jasa serta sebagian belanja modal yang ada pada pos belanja
langsung. Lantas bagaimana cara paling tepat bagi Kementerian Dalam Negeri melakukan
koreksi terhadap belanja ini ?
Mengacu
pada konsep anggaran berbasis kinerja yang bermakna setiap alokasi dana yang direncanakan harus terkait dengan tingkat
pelayanan dan hasil yang dapat dicapai dengan kuantitas dan kualitas yang terukur, maka pos belanja
yang mungkin dikurangi ada pada belanja barang dan jasa serta sebagian belanja
modal. Selama ini pos inilah yang rentan menjadi sarana ‘bancakan’ dan
berpotensi besar menjadi lahan korupsi. Disisi lain dengan perencanaan yang
efektif dan efisien kedua belanja ini juga dapat meningkatkan kualitas
pemerintahan dalam melaksanakan pemerintahan yang bersih dan tata kelola
pemerintahan yang baik (clean government and good governance). Aspek yang perlu
menjadi perhatian dalam upaya melakukan koreksi dan memangkas belanja yang
tidak perlu (boros) bisa dilakukan melalui beberapa langkah.
Pertama,
melakukan rasionalisasi kebutuhan belanja barang dan jasa. Belanja barang dan
jasa merupakan belanja habis pakai seperti atk (alat tulis kantor), alat-alat
rumah tangga kantor dan rumah dinas, biaya pemeliharaan dan operasional
kendaraan dinas, serta belanja perjalanan dinas. Belanja ini setiap tahun
dialokasikan dalam APBD karena diperlukan dalam pelaksanaan tugas aparatur dan
penyelenggaran pemerintahan. Yang menjadi catatan apakah kebutuhan belanja
tersebut sudah direncanakan sesuai kebutuhan (bukan keinginan) dengan
mempertimbangkan persedian barang dari tahun sebelumnya dan urgensi
pengalokasiannya dalam tahun berikutnya ? Catatan kritis dalam pengadaan barang
dana jasa selama ini adalah tidak adanya data yang valid tentang sisa
persediaan (termasuk kelayakan barang tersebut digunakan tahun berikutnya tanpa
harus membeli yang baru). Perencanaan belanja barang dan jasa dilokasikan
dengan volume sama dengan tahun sebelumnya padahal ada barang-barang yang masih
layak pakai seperti penggaris, hekter, piring,
gelas, dan sejenisnya. Dalam alokasi belanja pemeliharaan dan operasional
kendaraan dinas juga memakai pagu maksimal berpatokan pada keputusan kepala
daerah. Alokasi belanja pemeliharaan kendaraan dinas roda empat yaitu 4 – 10
juta/tahun sesungguhnya sangat besar bila dikaitkan dengan tingkat penggunaan
kendaraan dinas tersebut. Rata-rata setiap kendaraan dinas dapat jatah
pergantian keempat ban setiap tahun, servis dengan segala kebutuhannya (oli,
busi, dll) 4 kali pertahun. Berdasarkan pengalaman penulis waktu menggunakan
kendaraan dinas, dalam empat tahun belum pernah mengganti ban sama sekali. Demikian
pula dalam pengalokasian belanja perjalanan dinas selalu mengacu pada jatah
kunjungan yang sudah ditetapkan dari awal penyusunan APBD berdasarkan jatah
kunjungan tahun sebelumnya. Akibatnya sering terjadi satu daerah/kota
dikunjungi berulang-ulang dalam 1 periode pemerintahan baik oleh aparatur Pemda
maupun DPRD.
Kedua,
rasionalisasi standar harga barang. Hampir semua Pemerintah Daerah menetapkan
standar harga tertinggi dalam pengadaan barang untuk mengantisipasi lonjakan
harga agar pelaksanaan kegiatan jangan sampai gagal. Namun sejauhmana konsep
ini mampu mengantisipasi kolusi antara penanggung jawab kegiatan dan penyedia
barang karena efisiensi belanja ternyata tidak signifikan sekalipun harga
barang tidak naik. Pernyataan pakar ekonomi Prof Somitro beberapa waktu yang
lalu tentang kebocoran APBN mencapai 35 % menemukan relevansinya dalam kaitan
pengadaan barang ini. Oleh karenanya langkah cerdas Bupati Jembrana menetapkan
standar harga barang berdasarkan harga grosir dengan kenaikan sekian persen
berdasarkan tingkat inflasi berhasilkan meningkatkan efektifitas APBD Jembrana.
Sebuah langkah yang menjadikan Kabupaten Jembrana menjadi obyek studi banding
daerah-daerah lain. Sayangnya hasil studi tersebut tidak pernah
diimplementasikan di daerahnya masing-masing.
Ketiga,
rasionalisasi kebutuhan belanja modal aparatur. Pengadaan belanja modal untuk
aparatur merupakan titik pemborosan yang tidak kecil. Barang modal seperti
kendaraan dinas, komputer, note book, infocus, dan mebeler berusia pakai
minimal 5 tahun. Akibat lemahnya pendataan aset daerah, belanja komputer, note
book, infocus, dan mebeler dalam pengalosiannya berubah seperti belanja barang
(hampir setiap tahun dibeli). Disamping itu ada upaya untuk untuk kegiatan non
fisik seperti pembuatan sistem dan kajian selalu mengalokasi belanja komputer
dan note book padahal tahun-tahun sebelumnya kedua barang ini sudah dibeli
tanpa kejelasan siapa yang mengelola dan dialokasikan untuk apa setelah
kegiatan tersebut berakhir. Untuk diketahui kegiatan non fisik ini cukup banyak
dalam setiap tahun anggaran. Karenanya Satuan Kerja Perangkat Daerah (SKPD)
yang basis kegiatannya terkait dengan penyusunan sistem informasi dan basis
data serta kajian,perencanaan bisa membeli note book belasan unit dalam satu
tahun anggaran. Bila dijumlahkan untuk seluruh SKPD angka pembelian ini mencapai
ratusan unit.
Upaya
Kementerian Dalam Negeri untuk mengoreksi anggaran daerah perlu didukung. Dengan
rasionalisasi dan pemangkasan pos-pos belanja di atas akan didapatkan angka
yang signifikan penghematan anggaran belanja rutin daerah sehingga bisa
dialokasi untuk untuk peningkatan kesejahteraan rakyat.
0 komentar:
Posting Komentar