http://4.bp.blogspot.com/-MjpxfO6YxxI/Uos2MrQm8BI/AAAAAAAAAKQ/CYdQ_Twe_bA/s1600/996048_722726271088205_732148940_n.jpg MEMANGKAS BELANJA RUTIN DAERAH ~ Ir. H. Endrizal Nazar

Selasa, 19 November 2013

MEMANGKAS BELANJA RUTIN DAERAH



Anggaran belanja rutin pemerintah daerah saat ini rata-rata mencapai 54 persen dari total Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD). Idealnya anggaran belanja rutin ini sekitar 30 – 35 persen saja dari APBD. Untuk itu Kementerian Dalam Negeri akan melakukan koreksi (PR, 8 Oktober 2010).

Bila kita mencermati anatomi APBD, nomenklatur (istilah) belanja rutin tidak akan ditemukan lagi. Nomenklatur belanja rutin dikenal pada saat APBD masih menerapkan konsep anggaran berimbang (belanja disesuaikan dengan pendapatan yang diterima). Dengan penerapan konsep anggaran berbasis kinerja (pengalokasian belanja disesuaikan dengan target kinerja yang direncanakan), istilah belanja rutin tidak ada lagi dalam pos belanja APBD. Bila kita membandingkan dua konsep ini, konsep anggaran berimbang terdiri dari pos belanja utama yaitu belanja rutin (yang diperuntukkan bagi aparatur dan penyelenggara pemerintahan) dan belanja pembangunan (yang diperuntukkan bagi pelaksanaan pembangunan baik fisik maupun non fisik). Sementara konsep anggaran berbasis kinerja membagi pos belanja dalam 2 peruntukan yaitu belanja langsung (berupa gaji pegawai, hibah, bantuan sosial, dan sejenisnya dan belanja tidak langsung (belanja untuk kegiatan pemerintahan dan pembangunan). Memaknai anggaran belanja rutin yang dimaksudkan Kementerian Dalam Negeri tentu mengarah pada belanja yang dialokasi untuk pelaksanaan tugas pokok dan fungsi aparatur dan penyelenggara pemerintahan (Pemerintah Daerah dan DPRD). Belanja ini terdiri dari belanja (gaji) pegawai yang ada pada pos belanja tidak langsung, dan belanja barang dan jasa serta sebagian belanja modal yang ada pada pos belanja langsung. Lantas bagaimana cara paling tepat bagi Kementerian Dalam Negeri melakukan koreksi terhadap belanja ini ?

Mengacu pada konsep anggaran berbasis kinerja yang bermakna setiap alokasi dana yang direncanakan harus terkait dengan tingkat pelayanan dan hasil yang dapat dicapai dengan kuantitas dan kualitas yang terukur, maka pos belanja yang mungkin dikurangi ada pada belanja barang dan jasa serta sebagian belanja modal. Selama ini pos inilah yang rentan menjadi sarana ‘bancakan’ dan berpotensi besar menjadi lahan korupsi. Disisi lain dengan perencanaan yang efektif dan efisien kedua belanja ini juga dapat meningkatkan kualitas pemerintahan dalam melaksanakan pemerintahan yang bersih dan tata kelola pemerintahan yang baik (clean government and good governance). Aspek yang perlu menjadi perhatian dalam upaya melakukan koreksi dan memangkas belanja yang tidak perlu (boros) bisa dilakukan melalui beberapa langkah. 

Pertama, melakukan rasionalisasi kebutuhan belanja barang dan jasa. Belanja barang dan jasa merupakan belanja habis pakai seperti atk (alat tulis kantor), alat-alat rumah tangga kantor dan rumah dinas, biaya pemeliharaan dan operasional kendaraan dinas, serta belanja perjalanan dinas. Belanja ini setiap tahun dialokasikan dalam APBD karena diperlukan dalam pelaksanaan tugas aparatur dan penyelenggaran pemerintahan. Yang menjadi catatan apakah kebutuhan belanja tersebut sudah direncanakan sesuai kebutuhan (bukan keinginan) dengan mempertimbangkan persedian barang dari tahun sebelumnya dan urgensi pengalokasiannya dalam tahun berikutnya ? Catatan kritis dalam pengadaan barang dana jasa selama ini adalah tidak adanya data yang valid tentang sisa persediaan (termasuk kelayakan barang tersebut digunakan tahun berikutnya tanpa harus membeli yang baru). Perencanaan belanja barang dan jasa dilokasikan dengan volume sama dengan tahun sebelumnya padahal ada barang-barang yang masih layak pakai seperti penggaris, hekter, piring, gelas, dan sejenisnya. Dalam alokasi belanja pemeliharaan dan operasional kendaraan dinas juga memakai pagu maksimal berpatokan pada keputusan kepala daerah. Alokasi belanja pemeliharaan kendaraan dinas roda empat yaitu 4 – 10 juta/tahun sesungguhnya sangat besar bila dikaitkan dengan tingkat penggunaan kendaraan dinas tersebut. Rata-rata setiap kendaraan dinas dapat jatah pergantian keempat ban setiap tahun, servis dengan segala kebutuhannya (oli, busi, dll) 4 kali pertahun. Berdasarkan pengalaman penulis waktu menggunakan kendaraan dinas, dalam empat tahun belum pernah mengganti ban sama sekali. Demikian pula dalam pengalokasian belanja perjalanan dinas selalu mengacu pada jatah kunjungan yang sudah ditetapkan dari awal penyusunan APBD berdasarkan jatah kunjungan tahun sebelumnya. Akibatnya sering terjadi satu daerah/kota dikunjungi berulang-ulang dalam 1 periode pemerintahan baik oleh aparatur Pemda maupun DPRD.

Kedua, rasionalisasi standar harga barang. Hampir semua Pemerintah Daerah menetapkan standar harga tertinggi dalam pengadaan barang untuk mengantisipasi lonjakan harga agar pelaksanaan kegiatan jangan sampai gagal. Namun sejauhmana konsep ini mampu mengantisipasi kolusi antara penanggung jawab kegiatan dan penyedia barang karena efisiensi belanja ternyata tidak signifikan sekalipun harga barang tidak naik. Pernyataan pakar ekonomi Prof Somitro beberapa waktu yang lalu tentang kebocoran APBN mencapai 35 % menemukan relevansinya dalam kaitan pengadaan barang ini. Oleh karenanya langkah cerdas Bupati Jembrana menetapkan standar harga barang berdasarkan harga grosir dengan kenaikan sekian persen berdasarkan tingkat inflasi berhasilkan meningkatkan efektifitas APBD Jembrana. Sebuah langkah yang menjadikan Kabupaten Jembrana menjadi obyek studi banding daerah-daerah lain. Sayangnya hasil studi tersebut tidak pernah diimplementasikan di daerahnya masing-masing.

Ketiga, rasionalisasi kebutuhan belanja modal aparatur. Pengadaan belanja modal untuk aparatur merupakan titik pemborosan yang tidak kecil. Barang modal seperti kendaraan dinas, komputer, note book, infocus, dan mebeler berusia pakai minimal 5 tahun. Akibat lemahnya pendataan aset daerah, belanja komputer, note book, infocus, dan mebeler dalam pengalosiannya berubah seperti belanja barang (hampir setiap tahun dibeli). Disamping itu ada upaya untuk untuk kegiatan non fisik seperti pembuatan sistem dan kajian selalu mengalokasi belanja komputer dan note book padahal tahun-tahun sebelumnya kedua barang ini sudah dibeli tanpa kejelasan siapa yang mengelola dan dialokasikan untuk apa setelah kegiatan tersebut berakhir. Untuk diketahui kegiatan non fisik ini cukup banyak dalam setiap tahun anggaran. Karenanya Satuan Kerja Perangkat Daerah (SKPD) yang basis kegiatannya terkait dengan penyusunan sistem informasi dan basis data serta kajian,perencanaan bisa membeli note book belasan unit dalam satu tahun anggaran. Bila dijumlahkan untuk seluruh SKPD angka pembelian ini mencapai ratusan unit. 

Upaya Kementerian Dalam Negeri untuk mengoreksi anggaran daerah perlu didukung. Dengan rasionalisasi dan pemangkasan pos-pos belanja di atas akan didapatkan angka yang signifikan penghematan anggaran belanja rutin daerah sehingga bisa dialokasi untuk untuk peningkatan kesejahteraan rakyat.


0 komentar:

Posting Komentar

 
Design by Free WordPress Themes | Bloggerized by Lasantha - Premium Blogger Themes | Best Buy Coupons | Re-Design by PKS Piyungan