Visi kota Bandung yaitu
terwujudnya Kota Bandung yang Nyaman, Unggul, dan Sejahtera. Keunggulan bisa
dipotret dari kualitas SDM (Sumber Daya Manusia) yang dihitung berdasarkan
Indeks Pembangunan Manusia (IPM). Salah satu parameter IPM adalah Indeks Pendidikan.
Hal ini diungkapkan oleh Ir. Endrizal Nazar (Wakil Ketua Komisi D DPRD Kota
Bandung) dalam acara Bincang Pagi Bandung Juara LITA FM pada hari Selasa, 2
Februari 2016 yang lalu. Endrizal menambahkan, dua hal utama yang menjadi tugas
DPRD adalah merumuskan kebijakan (Perda) pendidikan dan mengalokasikan
anggarannya. Sementara itu kendala yang terjadi berupa belum terpenuhinya
kuantitas dan kualitas SDM pendidikan, keterbatasan anggaran, sarana dan
prasarana yang masih terbatas, serta belum transparannya anggaran pendidikan di
satuan pendidikan (sekolah)
Keterbatasan anggaran karena
harus berbagi dengan sektor lain seperti kesehatan, kebinamargaan
(infrastruktur) yang juga membutuhkan anggaran yang besar. Berdasarkan
Undang-Undang Dasar (UUD) 1945 alokasi anggaran pendidikan minimal 20% dari
APBN dan APBD. Di kota Bandung anggaran pendidikan sudah mencapai 35% dari APBD,
tambah Dr. Elih Sudiapermana, M.Pd selaku kepala Dinas Pendidikan kota Bandung.
Tapi anggaran ini sebagian besar tersedot untuk gaji guru. Dinas beserta DPRD
menargetkan kualitas pendidikan untuk tahun 2016 ini dapat ditingkatkan. Salah
satu hal yang difokuskan ialah akses bersekolah untuk warga miskin. Saat ini
rata-rata lama sekolah (RLS) Kota Bandung baru 10,86 tahun, sementara target
yang ingin dicapai tahun 2018 adalah 12 tahun. Selain itu masih ada dana yang
dipungut sekolah dari masyarakat, baik swasta maupun negeri yang pengelolaan
dan pelaporannya belum transparan. Walaupun Kota Bandung sudah membebaskan
(menggratiskan) warga miskin untuk menempuh pendidikan sampai tingkat menengah
(12 tahun) kenyataannya mash ada warga miskin yang tidak bersekolah. Mereka
yang tidak bersekolah ini ada yang sudah bekerja atau menjadi anak jalanan
(‘dipaksa’ mengemis). Kurangnya informasi/akses tentang sekolah gratis serta
tuntutan ekonomi keluarga menyebabkan mereka tidak melanjutkan sekolah.
Untuk mencapai target
RLS 12 tahun di atas, pemkot melalui dinas pendidikan melaksanakan kebijakan
afirmasi. Afirmasi yang akan dilakukan terhadap warga miskin ini ialah sekolah
gratis dengan dicarikan lokasi yang terdekat dengan tempat tinggalnya.
Pemerintah sendiri sudah menganggarkan dana untuk pendidikan sebesar 105 M,
baik berupa Bantuan Operasional Sekolah (BOS) dari APBN, BOS Propinsi, maupun
anggaran dari APBD kota. Permasalahan dinas selanjutnya ialah penanganan
kelompok berkebutuhan khusus.
Ada tiga kebijakan pada
tahun 2016 yang akan dilakukan oleh Dinas Pendidikan, yaitu kebijakan akses,
kebijakan mutu, dan kebijakan peningkatan tata kelola. Kebijakan akses disini
lebih difokuskan untuk yang rentan, yaitu warga miskin. Sementara permasalahan
dalam kebijakan mutu ialah masyarakat yang mengkotak-kotakkan sekolah berdasarkan
sekolah favorit dan tidak favorit. Padahal berbeda antara sekolah favorit
dengan sekolah unggul. Sekolah favorit biasanya sekolah yang dipilih oleh
mayoritas masyarakat karena hasil UN tertinggi. Sehingga masyarakat lebih
memilih sekolah berdasarkan pilihan bukan karena potensi. Padahal masing-masing
sekolah memiliki keunggulannya tersendiri. Karena guru berkualitas pun tidak
dinilai dari berada di sekolah favorit atau tidak. Saat ini pun dinas sedang
menunggu hasil Uji Kompetensi Guru (UKG), ujar Elih.
Dalam hal kebijakan
peningkatan tata kelola fokus terbagi menjadi dua, melalui pendekatan karakter Bandung
masagi dan literasi sekolah. Pendidikan karakter Bandung masagi ini meliputi
bidang agama, kesundaan, bela negara dan cinta tanah air, serta lingkungan.
Program-program ini sudah dapat dilihat dengan adanya sekolah-sekolah yang
mengaji terlebih dahulu sebelum memulai kegiatan belajar mengajar, Rebo Nyunda,
Gerakan Pungut Sampah (GPS), dan lain-lain. Hasil yang sudah dirasakan dengan
adanya adiwiyata di 24 sekolah.
Untuk literasi sekolah
mengapa perlu ditingkatkan? Karena siswa sudah bisa membaca, bisa menulis namun
ketika diminta mengungkapkan pendapat akan sangat sulit. Terlihat dalam
pengerjaan soal. Siswa lebih menyenangi mengerjakan soal yang pendek daripada
yang panjang. Bahkan, ketika melihat soal yang panjang minat membacanya sudah
berkurang apalagi mengerjakan. Jangankan menjawab soal yang panjang, ketika
siswa disodori buku bacaan yang tebal langsung mengeluh dengan tebalnya
halaman. Selain itu kecepatan membaca siswa di kota Bandung juga masih sangat
kurang dinilai per kategori usia.
Permasalahan
Pendaftaran Peserta Didik Baru (PPDB) yang terjadi kemarin pun menjadi hal yang
dievaluasi. Permasalahan tersebut terjadi dikarenakan pemegang Surat Keterangan
Tidak Mampu (SKTM) melebihi kuota sekolah negeri tetapi semuanya diterima. Hal
ini menyebabkan yang miskin tidak memiliki daya juang, karena sudah merasa aman
dengan memiliki SKTM atau Kartu Indonesia Pintar. Sehingga untuk ke depannya
data kemiskinan akan dievaluasi kembali untuk mengecek apakah warga miskin
tersebut betul-betul miskin. (Hafizhotunnisa Ishmatullah)
0 komentar:
Posting Komentar