Pada
penyusunan RAPBN 2011 beberapa tahun yang lalu masyarakat sempat dihebohkan
dengan munculnya ide kalangan DPR agar disediakan dana aspirasi 1 milyar rupiah
untuk setiap anggota DPR. Dana yang akan disalurkan anggota DPR ke masyarakat
di daerah pemilihannya tersebut dianggap sebagai salah satu cara mengantisipasi
banyaknya permohonan kepada anggota DPR dari warga karena merasa aspirasi
mereka belum terwadahi dalam program pembangunan.
Setelah
menghadapi kecaman luas dari banyak kalangan, Idrus Marham dari Fraksi Partai
Golkar yang menjadi juru bicara utama perjuangan dana aspirasi mencoba
menggunakan istilah lain yaitu program aspirasi. Tetapi perubahaan usulan
tersebut tetap saja menimbulkan pro kontra di masyarakat. Bagaimana seharusnya
anggota DPR memperjuangkan aspirasi masyarakat di daerah pemilhannya tanpa
terjebak dengan pro kontra seperti diatas ?
Bila
kita mencermati anatomi APBN, dana aspirasi bisa ditempatkan pada pos belanja
bantuan sosial/hibah atau belanja program/kegiatan pada Kementerian dan Lembaga
(KL). Namun melihat keinginan kuat untuk meningkatkan transfer ke daerah maka penempatan
dana aspirasi dapat berupa Dana Alokasi Khusus (DAK) atau bantuan keuangan pada
pos pendapatan di APBD. Karena dana tersebut sudah diblok untuk aspirasi yang
masuk melalui anggota DPR, Kepala Daerah dalam hal ini Tim Anggaran Pemerintah
Daerah (TAPD) tentu tidak mau mengutak atik pengalokasian dan peruntukannya.
Berdasarkan pos belanja dalam APBD keluarnya dana aspirasi bisa melalui dua (2)
cara :
Pertama,
jika wujudnya menjadi bantuan sosial/hibah, maka konstituen di daerah pemilihan
anggota DPR akan menerima dana tunai yang pencairannya melalui sekretariat pemerintah
daerah. Sasaran bantuan yaitu kelembagaan yang ada di masyarakat seperti LSM, yayasan,
ormas, dan lembaga sosial/profesi lainnya. Belajar dari pengalaman dana
aspirasi yang ada di beberapa daerah melalui anggota DPRD Propinsi dan DPRD
Kabupaten/Kota, pola ini sangat rentan diselewengkan dalam bentuk lembaga
penerima fiktif dan pemotongan/uang jasa untuk anggota DPR. Hal inilah yang pernah
menjerat anggota DPRD di beberapa Kabupaten/Kota di Jawa Barat. Dengan tidak
adanya audit terhadap lembaga penerima (kecuali kalau ada laporan penyimpangan)
maka potensi penyimpangan/penyelewengan sangat besar.
Kedua,
jika wujudnya berupa program/kegiatan yang dilaksanakan oleh Satuan Organisasi
Perangkat Daerah (SOPD), peluang penyimpangan/penyelewengan berupa komisi/fee dari pihak ketiga yang melaksanakan
pekerjaan. Kasus korupsi yang melibatkan beberapa anggota DPR tidak terlepas
dari fee yang mereka peroleh dari
rekanan kementerian dan lembaga yang sudah mereka perjuangkan anggarannya.
Kalau fee dari rekanan kementerian/lembaga
harus dibagi dengan beberapa rekan di komisi terkait, maka fee dari dana aspirasi akan dinikmati sendiri. Fee ini akan semakin
besar jika pihak ketiga yang melaksanakan pekerjaan ditentukan anggota DPR.
Bukan hal yang terlalu sulit merekayasa proses tender sekalipun sudah
menggunakan sistem elektonik karena akhirnya yang memberikan penilaian aparatur
birokrasi juga. Dengan belum terwujudnya tata kelola pemerintahan yang baik,
penyimpangan dalam proses tender selalu terbuka.
Untuk
menunjukkan komitmen DPR dalam memperjuangkan aspirasi masyarakat tidak perlu
dengan dana/program aspirasi yang akan memperbesar defisit APBN. Upaya yang
lebih tepat yaitu dengan mengawal aspirasi masyarakat yang muncul saat
musyawarah perencanaan pembangunan (musrenbang). Musrenbang sebagai mekanisme
penjaringan aspirasi masyarakat yang diatur undang-undang sayangnya jarang
diikuti wakil rakyat. Seharusnya anggota dewan mengawal aspirasi masyarakat yang
muncul dalam setiap pelaksanaan musrenbang sehingga bisa dipastikan masuk dalam
rencana kerja pemerintah/pemerintah daerah (RKP/D). Yang sering terjadi
aspirasi masyarakat kalah prioritas dari kegiatan KL/SOPD yang tidak langsung
bersentuhan dengan kepentingan masyarakat luas. Apalagi dengan pola musrenbang sebatas
kompilasi usulan masyarakat tanpa ada kejelasan program/kegiatan prioritas.
Membenahi mekanisme musrenbang dan meningkatkan kemampuan dan kemauan anggota
dewan untuk melakukan elaborasi Rencana Kerja dan Anggaran (RKA) KL/SOPD adalah
solusi terbaik. Prinsip anggaran berbasis kinerja seharusnya didahului oleh
perencanaan berbasis kinerja. Hal inilah yang selama ini luput dari perhatian
wakil rakyat baik di pusat maupun di daerah.
Mekanisme
musrenbang hendaknya didesain dengan parameter yang jelas dan terukur dalam
menentukan program prioritas dalam setiap level pelaksanaannya. Tak kalah
pentingnya bagaimana mendesain musrenbang yang lebih partisipatif dan memancing
kegairahan warga untuk berpartisipasi secara maksimal. Dengan kejelasan
prioritas serta pengawalan anggota dewan diharapkan program/kegiatan
terakomodir dalam RKP/D. Kegiatan reses anggota DPR perlu dioptimalkan untuk
menindaklanjuti aspirasi tersebut melalui pertemuan dengan kepala daerah,
anggota DPRD maupun masyarakat luas. Pertemuan dengan kepala daerah jangan
hanya sebatas menampung aspirasi tetapi juga mengevaluasi sejauhmana
efektivitas pengguliran dana APBN yang ditransfer ke daerah. Salah satu hal
yang jarang (bahkan mungkin tidak pernah) dilakukan anggota DPR dalam masa
reses yaitu bertemu dengan anggota DPRD. Hal ini penting dilakukan untuk
memilah program yang diakomodir di APBN dan di APBD agar aspirasi masyarakat
mendapat kejelasan pengalokasian anggarannya ditengah keterbatasan APBN dan
APBD.
Menumpuk
dan berulangnya aspirasi masyarakat dalam setiap tahun anggaran bisa
diantisipasi dengan meningkatkan kapasitas dan kesungguhan anggota dewan dalam
melakukan elaborasi RKA KL dan SOPD. Dengan cara ini fungsi penganggaran dewan
untuk mewujudkan APBN/APBD yang efektif dan efisien akan terlaksana .
Implementasi anggaran berbasis kinerja harus terlihat dalam indikator outcomes (hasil) dari sebuah kegiatan.
Tanpa kejelasan outcomes fungsi
anggaran untuk mencapai targetan pembangunan yang dimuat dalam Rencana
Pembangunan Jangka Menengah (RPJM) tidak akan terwujud. Hal ini cukup menjadi
alasan bagi anggota dewan untuk mencoret kegiatan tersebut dari APBN/APBD. Dengan
kejelasan kinerja akan meningkatkan capaian pembangunan sehingga aspirasi
masyarakat sebagai bagian dari target RPJM dengan sendirinya akan terakomodir.
by
Endrizal Nazar
Tulisan ini pernah dimuat dalam rubrik Opini Harian Umum Pikiran Rakyat (PR) dengan judul "Program Aspirasi", Senin 28 Juni 2010 dan dimuat kembali dalam blog ini dengan sedikit revisi
0 komentar:
Posting Komentar