http://4.bp.blogspot.com/-MjpxfO6YxxI/Uos2MrQm8BI/AAAAAAAAAKQ/CYdQ_Twe_bA/s1600/996048_722726271088205_732148940_n.jpg DANA ASPIRASI ATAU PROGRAM ASPIRASI ~ Ir. H. Endrizal Nazar

Senin, 02 Desember 2013

DANA ASPIRASI ATAU PROGRAM ASPIRASI


Pada penyusunan RAPBN 2011 beberapa tahun yang lalu masyarakat sempat dihebohkan dengan munculnya ide kalangan DPR agar disediakan dana aspirasi 1 milyar rupiah untuk setiap anggota DPR. Dana yang akan disalurkan anggota DPR ke masyarakat di daerah pemilihannya tersebut dianggap sebagai salah satu cara mengantisipasi banyaknya permohonan kepada anggota DPR dari warga karena merasa aspirasi mereka belum terwadahi dalam program pembangunan.

 
Setelah menghadapi kecaman luas dari banyak kalangan, Idrus Marham dari Fraksi Partai Golkar yang menjadi juru bicara utama perjuangan dana aspirasi mencoba menggunakan istilah lain yaitu program aspirasi. Tetapi perubahaan usulan tersebut tetap saja menimbulkan pro kontra di masyarakat. Bagaimana seharusnya anggota DPR memperjuangkan aspirasi masyarakat di daerah pemilhannya tanpa terjebak dengan pro kontra seperti diatas ?

Bila kita mencermati anatomi APBN, dana aspirasi bisa ditempatkan pada pos belanja bantuan sosial/hibah atau belanja program/kegiatan pada Kementerian dan Lembaga (KL). Namun melihat keinginan kuat untuk meningkatkan transfer ke daerah maka penempatan dana aspirasi dapat berupa Dana Alokasi Khusus (DAK) atau bantuan keuangan pada pos pendapatan di APBD. Karena dana tersebut sudah diblok untuk aspirasi yang masuk melalui anggota DPR, Kepala Daerah dalam hal ini Tim Anggaran Pemerintah Daerah (TAPD) tentu tidak mau mengutak atik pengalokasian dan peruntukannya. Berdasarkan pos belanja dalam APBD keluarnya dana aspirasi bisa melalui dua (2) cara :

Pertama, jika wujudnya menjadi bantuan sosial/hibah, maka konstituen di daerah pemilihan anggota DPR akan menerima dana tunai yang pencairannya melalui sekretariat pemerintah daerah. Sasaran bantuan yaitu kelembagaan yang ada di masyarakat seperti LSM, yayasan, ormas, dan lembaga sosial/profesi lainnya. Belajar dari pengalaman dana aspirasi yang ada di beberapa daerah melalui anggota DPRD Propinsi dan DPRD Kabupaten/Kota, pola ini sangat rentan diselewengkan dalam bentuk lembaga penerima fiktif dan pemotongan/uang jasa untuk anggota DPR. Hal inilah yang pernah menjerat anggota DPRD di beberapa Kabupaten/Kota di Jawa Barat. Dengan tidak adanya audit terhadap lembaga penerima (kecuali kalau ada laporan penyimpangan) maka potensi penyimpangan/penyelewengan sangat besar. 

Kedua, jika wujudnya berupa program/kegiatan yang dilaksanakan oleh Satuan Organisasi Perangkat Daerah (SOPD), peluang penyimpangan/penyelewengan berupa komisi/fee dari pihak ketiga yang melaksanakan pekerjaan. Kasus korupsi yang melibatkan beberapa anggota DPR tidak terlepas dari fee yang mereka peroleh dari rekanan kementerian dan lembaga yang sudah mereka perjuangkan anggarannya. Kalau fee dari rekanan kementerian/lembaga harus dibagi dengan beberapa rekan di komisi terkait, maka fee dari dana aspirasi akan dinikmati sendiri. Fee ini akan semakin besar jika pihak ketiga yang melaksanakan pekerjaan ditentukan anggota DPR. Bukan hal yang terlalu sulit merekayasa proses tender sekalipun sudah menggunakan sistem elektonik karena akhirnya yang memberikan penilaian aparatur birokrasi juga. Dengan belum terwujudnya tata kelola pemerintahan yang baik, penyimpangan dalam proses tender selalu terbuka.

Untuk menunjukkan komitmen DPR dalam memperjuangkan aspirasi masyarakat tidak perlu dengan dana/program aspirasi yang akan memperbesar defisit APBN. Upaya yang lebih tepat yaitu dengan mengawal aspirasi masyarakat yang muncul saat musyawarah perencanaan pembangunan (musrenbang). Musrenbang sebagai mekanisme penjaringan aspirasi masyarakat yang diatur undang-undang sayangnya jarang diikuti wakil rakyat. Seharusnya anggota dewan mengawal aspirasi masyarakat yang muncul dalam setiap pelaksanaan musrenbang sehingga bisa dipastikan masuk dalam rencana kerja pemerintah/pemerintah daerah (RKP/D). Yang sering terjadi aspirasi masyarakat kalah prioritas dari kegiatan KL/SOPD yang tidak langsung bersentuhan dengan kepentingan masyarakat luas. Apalagi dengan pola musrenbang sebatas kompilasi usulan masyarakat tanpa ada kejelasan program/kegiatan prioritas. Membenahi mekanisme musrenbang dan meningkatkan kemampuan dan kemauan anggota dewan untuk melakukan elaborasi Rencana Kerja dan Anggaran (RKA) KL/SOPD adalah solusi terbaik. Prinsip anggaran berbasis kinerja seharusnya didahului oleh perencanaan berbasis kinerja. Hal inilah yang selama ini luput dari perhatian wakil rakyat baik di pusat maupun di daerah.

Mekanisme musrenbang hendaknya didesain dengan parameter yang jelas dan terukur dalam menentukan program prioritas dalam setiap level pelaksanaannya. Tak kalah pentingnya bagaimana mendesain musrenbang yang lebih partisipatif dan memancing kegairahan warga untuk berpartisipasi secara maksimal. Dengan kejelasan prioritas serta pengawalan anggota dewan diharapkan program/kegiatan terakomodir dalam RKP/D. Kegiatan reses anggota DPR perlu dioptimalkan untuk menindaklanjuti aspirasi tersebut melalui pertemuan dengan kepala daerah, anggota DPRD maupun masyarakat luas. Pertemuan dengan kepala daerah jangan hanya sebatas menampung aspirasi tetapi juga mengevaluasi sejauhmana efektivitas pengguliran dana APBN yang ditransfer ke daerah. Salah satu hal yang jarang (bahkan mungkin tidak pernah) dilakukan anggota DPR dalam masa reses yaitu bertemu dengan anggota DPRD. Hal ini penting dilakukan untuk memilah program yang diakomodir di APBN dan di APBD agar aspirasi masyarakat mendapat kejelasan pengalokasian anggarannya ditengah keterbatasan APBN dan APBD.

Menumpuk dan berulangnya aspirasi masyarakat dalam setiap tahun anggaran bisa diantisipasi dengan meningkatkan kapasitas dan kesungguhan anggota dewan dalam melakukan elaborasi RKA KL dan SOPD. Dengan cara ini fungsi penganggaran dewan untuk mewujudkan APBN/APBD yang efektif dan efisien akan terlaksana . Implementasi anggaran berbasis kinerja harus terlihat dalam indikator outcomes (hasil) dari sebuah kegiatan. Tanpa kejelasan outcomes fungsi anggaran untuk mencapai targetan pembangunan yang dimuat dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah (RPJM) tidak akan terwujud. Hal ini cukup menjadi alasan bagi anggota dewan untuk mencoret kegiatan tersebut dari APBN/APBD. Dengan kejelasan kinerja akan meningkatkan capaian pembangunan sehingga aspirasi masyarakat sebagai bagian dari target RPJM dengan sendirinya akan terakomodir.

by Endrizal Nazar

Tulisan ini pernah dimuat dalam rubrik Opini Harian Umum Pikiran Rakyat (PR) dengan judul "Program Aspirasi", Senin 28 Juni 2010 dan dimuat kembali dalam blog ini dengan sedikit revisi

0 komentar:

Posting Komentar

 
Design by Free WordPress Themes | Bloggerized by Lasantha - Premium Blogger Themes | Best Buy Coupons | Re-Design by PKS Piyungan